Oleh: Salman Yoga S
A. Pendahuluan.
Salah satu unsur kebudayaan yang sangat berperan dalam kehidupan
manusia adalah kesenian. Kebudayaan, oleh Koentjaraningrat diartikan sebagai
"budi" atau "akal",1 sehingga tidak heran jika kemudian kebudayaan dan kesenian kerap
dijadikan salah satu tolok ukur dan menjadi indikator peradaban suatu
komunitas. Aktualisasi dan pengungkapan ekspresi kerap menggunakan media yang
berbeda-beda, rasa keindahan diekspresikan melalui bentuk kesenian, baik seni
tari, seni pahat, seni suara dan
lain-lain sebagainya. Kesenian dalam kosmos peradaban manusia adalah suatu
bentuk penyangga kebudayaan, agar
kebudayaan tersebut tetap eksis di tengah masyarakat pemiliknya.2
Keberlangsungan komunikasi dalam komunitas masyarakat, tetap terjaga
dan lestarinya nilai-nilai kearifan budaya dari satu generasi ke generasi
merupakan satu proses panjang yang membutuhkan satu media tranformasi yang
tidak saja dekat dengan audiennya juga merupakan bagian terpenting dalam
kebudayaannya. Disinilah letak sebuah unsur kebudayaan menjadi penting, baik
sebagai media komunikasi antar sesama maupun sebagai media informasi kepada
orang lain di luar lingkungannya.
Esensi komunikasi yang hakiki adalah bagaimana sebuah pesan dapat
sampai kepada orang lain (komunikan), media yang digunakan untuk tercapainya
hal tersebut ada bermacam macam. Dalam dunia modren penggunaan alat dan sarana
komunikasi adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan untuk
mengkomunikasikan pesan. Tetapi bagaimana sebuah komunikasi dapat berjalan
sebagaimana mestinya jika alat dan sarana telekomunikasi tersebut justru tidak
ada pada masayarakat tempo dulu. Jawabannya adalah bagaimana peran dan fungsi
dari bagian unsur kebudayaannya dapat menjadi saluran komunikasi, meskipun hal
tersebut hanya berlaku dalam lingkungan yang terbatas.
Kesenian menjadi media yang paling mudah dan mulus dalam merubah dan
menyampaikan pesan kepada masyarakat. Karakter ini menjadi nilai lebih bagi
sebuah unsur kebudayaan, karena ia tidak memerlukan banyak alasan atau argumen.
Pola perubahan yang diharapkan adalah dari segi apektif dan kognitif
individual yang selanjutnya turut pula mempengaruhi kehidupan sosial secara
kolektif. Sejarah dan metode para mubaligh dalam mendakwahkan ajaran Islam
serta peran kesenian dalam masuknya Islam di nusantara melalui Kerajaan Pase
Aceh,3 kesenian
bukan saja dimanfaatkan dan didayagunakan sebagai media penyampaian pesan atau
sebagai media komunikasi, tetapi juga menjadi sarana sekaligus metode untuk
mempengaruhi komunikan untuk menerima dan mengikuti mesege komunikasi.
Dari sekian banyak kesenian tradisional sebagai bagian dari unsur
kebudayaan yang ada di nusantara salah
satunya adalah seni Didong, yaitu suatu kesenian yang merupakan perpaduan antara
seni suara dengan sastra berupa syair-syair puisi sebagai unsur utamanya.
Didong adalah suatu kesenian yang dimiliki oleh masyarakat Gayo yang mendiami
Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sejak masuknya Islam ke tanah
Aceh, baik kebudayaan Aceh maupun kebudayaan Gayo adalah kebudayaan yang
bernafaskan Islam. Setelah Islam masuk ke tanah Gayo, maka kesenian Gayo
bernafaskan Islam,4 dan kesenian yang paling mendominasi kebudayaan Gayo di antara
jenis dan bentuk kesenian lainnya adalah seni Didong.
Sebagaimana ditulis oleh Thantawy R. bahwa seni Didong adalah satu
macam kesenian yang sangat populer di kalangan masyarakat Gayo. Seni Didong
adalah merupakan suatu social intrest, artinya suatu unsur kebudayaan
yang amat digemari oleh sebagian besar masyarakat, sehingga banyak unsur-unsur
lain dan lapangan-lapangan lain dalam masyarakat itu tersangkut dan terdorong
karenanya.5 Kesenian
ini digemari dan disenangi oleh masyarakat, karena berisi syair-syair puisi faktual, aktual dan
kontekstual menyangkut berbagai macam masalah kehidupan, baik agama, adat
budaya, sosial, politik maupun lingkungan.
B. Syair, Seni
Dan Didong.
Secara etimologis syair adalah karangan atau gubahan bersajak, puisi,6 kata syair sendiri berasal dari
bahasa Arab yaitu “syu’ur” yang berpengertian sebagai “perasaan”, dengan
ciri terdiri dari empat baris sebait kebanyakan berisi nasehat, petuah, dongeng
dan cerita.7
Selanjutnya pengertian syair sama dengan "lirik" pada nyanyian atau
lagu.8 Secara
umum kata "syair" lebih
cenderung dimaknai sebagai "sajak" atau "puisi",9 pengertian inipun mengarah kepada
jenis karya sastra modren maupun tradisional.
Istilah lain yang sangat erat hubungannya dengan kata “syair” adalah
kâtib, yang berarti penulis (penyair). Penggunaan kata kâtib
merujuk pada banyak arti. Salah satu makna dasar dari kata tersebut adalah
“penulis”. Kata itupun sering digunakan dalam arti penulis atau penyalin prosa
yang indah, yang maknanya sejajar dengan istilah “nâsikh, atau
warrâq’. Istilah lainnya adalah munsyi’ yang berarti
seseorang yang menulis dan yang menciptakan sendiri karangannya.10 Karena itu untuk menyebutkan
sesuatu kata atau istilah tidak berdasarkan penglihatan tetapi pendengaran,
penyebutannya lebih tertakluk kepada sistem bunyi bahasa yang berkenaan,
khususnya bahasa penuturan atau lisan. Justru itu syair atau ‘syi’ir
disebut juga dengan sa’e’ atau ‘sa’ iyo’ dalam bahasa Melayu, ‘sayer’
dan ‘singir’ atau geguritan dalam bahasa Jawa.11
Syair bagi masyarakat Gayo yang menggunakan sastra lisan menyebutnya
menjadi ‘syair’ atau ‘sa’er’, yaitu salah satu bentuk sastra lisan yang
merupakan media dakwah agama yang isinya berupa tafsir dari Alquran, hadis
Nabi, mengisahkan kehidupan para sahabat Nabi dan nasehat-nasehat lain yang
bersumber dari ajaran Islam.12 Sementara itu kata syair dalam konteks ini adalah naskah teks yang
bentuk tulisan maupun lisan yang bersumber dari kesenian Didong, yang bermuatan
informasi, komunikasi, pesan, ajakan, seruan, penjelasan tentang sesuatu kepada
masyarakat dengan maksud membawa kepada perubahan secara afektif maupun kognitif.
Selanjunya prihal seni. Pengertian bidang ini demikian banyak
sebagaimana yang dikemukakan oleh para filsuf seni, ahli estetika dan oleh
seniman sendiri. Susanne K. Langer memberi batasan bahwa seni adalah istilah
umum yang mencakup lukisan, musik, tari, sastra, drama, dan filem. Kesemua itu
dapat dibatasi sebagai kegiatan menciptakan bentuk-bentuk yang dapat
dimengerti, yang mengungkapkan perasaan manusia.13 Sedangkan menurut The Liang Gie,
seni adalah segenap kegiatan budi pekerti seseorang (seniman) yang secara mahir
menciptakan sesuatu karya sebagai pengungkapan perasaan manusia. Hasil dari
kegiatan itu ialah suatu kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari
unsur-unsur yang bersifat ekspresif yang termuat dalam suatu medium indrawi.
Seni adalah suatu (proses) dan sekaligus juga sebagai hasil kegiatan (produk),
kedua hal ini tidak dapat dipisahkan.14
Terkaitan dengan syair sebagai media penyampaian pesan-pesan
keagamaan, Bachrum Bunyamin mengartikan seni sebagai hasil cipta yang
mengandung nilai-nilai kebaikan dan keindahan yang menyenangkan.15 Suatu definisi yang lebih cermat,
barang kali ialah bahwa sebuah karya seni adalah suatu bentuk tampak tersendiri
yang dibentuk secara mahir dalam suatu pengungkapan atau perwujudan yang serasi
mungkin dan dapat berdiri sendiri dari suatu gagasan, khayalan atau keinginan
yang mengharukan.16
Namun kemudian secara umum orang berpendapat bahwa kesenian adalah
hasil ekspresi manusia akan keindahan, meski tidak semua hasil karya seni dapat
dikatakan demikian. Karena ada karya seni yang lebih mengutamakan pesan budaya
yang mengadung unsur-unsur sistem budaya dari masyarakat yang bersangkutan. Hal
ini berarti bahwa dengan kesenian masyarakat yang bersangkutan bermaksud
menjawab atau menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya, mengisi
kebutuhan atau mencapai suatu tujuan bersama, seperti kemungkaran, persatuan,
kemuliaan, kebahagiaan dan rasa aman
berhubungan dengan yang gaib (supranatural) dan lain-lain. Kesenian
sebagai hasil ekspresi keindahan yang mengandung pesan budaya terwujud dalam
bermacam-macam bentuk, seperti seni lukis,
seni patung, seni sastra, seni tari, seni vokal, seni musik dan seni drama.17
Berikutnya pengertian Didong, dalam masyarakat Gayo secara
etimologis Didong belum mempunyai pengertian yang jelas.18 Namun salah seorang pelaku
kesenian ini Sali Gobal dalam sebuah karyanya yang berjudul "Didong"19 secara implisit dan eksplisit menerangkan
pengertian dari kesenian ini sendiri lebih cenderung kepada pengertian
"dendang" secara khusus dan berpengertian sebagai “nyanyian” secara
umum. Hal tersebut dapat kita simak dalam kutipan syair berikut :
Didong didong didong do
didong ni
Didong ko kin seni ni urang
Gayo ni
Tikik tikik telas basa,
bijak cerdik tutur kata
Roneng tikik makin gaya,
osop macik pora-pora
Didong denang didong didong
ku denang20
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
Didong didong duh didong
Didong kau untuk seni orang
Gayo
Pelan-pelan tampak bahasa,
bijak cerdik tutur kata
Norak sedikit menambah
gaya, dengan perlahan hilang resah
Didong denang didong denang
kudendang.
Menganalisa kutipan syair Didong tersebut di atas dapat di simpulkan
bahwa Didong mempunyai pengertian sebagai "dendang". Meski M.Junus
Melalatoa menyebutkan bahwa sebenarnya kata "dendang" dari pengertian
kata "Didong" mempunyai makna yang lebih luas, artinya bukan sekedar
berdendang,21 karena dalam kesenian Didong juga merangkum beberapa jenis kesenian
masyarakat Gayo lainnya seperti seni sastra lisan (seni bertutur), seni tari
dan seni teater.
Secara umum kesenian Didong adalah merupakan perpaduan antara seni
vokal dan seni suara dengan sastra puisi berupa syair-syair sebagai unsur
utama. Secara khusus, seni Didong adalah perpaduan yang kompak dan bulat antara seni gerak serta sintak (lagu) serta
isi (syair puisi) yang romantis alami, dinamik.22 Atas landasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa kesenian Didong adalah merupakan salah
satu kesenian tradisional khas
masyarakat Gayo yang berupa perpaduan antara seni suara, seni sastra dengan
syair-syair sebagai unsur utamanya, seni tari
dan seni teater.
Adapun penambahan kata "Gayo" di depan kata
"Didong" menjadi "Didong Gayo" adalah merupakan kata
keterangan sekaligus kata untuk menegaskan wilayah dan komunitas dimana
kesenian tersebut tumbuh, berkembang dan mendapat tempat tersendiri dalam
kehidupan sosial masyarakatnya. Menunjukkan penggunaan bahasa dan ekspresi seni
sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Gayo, yaitu salah satu etnik atau
suku terbesar yang mendiami daerah Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener
Meriah Provinsi Aceh.
C. Sistem
Pertandingan Seni Didong.
Kesenian Didong dipertandingkan antara dua kelompok kesenian dalam
waktu semalam suntuk, sejak usai shalat Isya sampai menjelang shalat Subuh.
Tiap-tiap kelompok terdiri dari 30 sampai 40 orang, dalam penampilan mereka
duduk bersila membentuk lingkaran dengan bantal kecil sebagai pengganti alat
musik pengiring. Setiap kelompok kesenian dipimpin oleh satu sampai tiga orang
yang disebut dengan Ceh (penyair), yang ahli dalam menuturkan dan
melantunkan sastra Gayo dalam bentuk syair-syair puisi dan lagu. Di samping itu
Ceh (penyair) mempunyai keahlian dan kemampuan dalam menyusun kalimat
syair baik melalui persiapan maupun secara
spontan.
Dalam setiap penampilan atau pertunjukkan, masing-masing kelompok
diberi waktu selama 30 menit secara bergantian sepanjang malam. Kedua kelompok
kesenian akan saling beradu syair
dan puisi, inilah yang
merupakan inti serta daya tarik dari
kesenian Didong. Selain dalam bentuk pertandingan, kesenian ini juga
kerap dipentaskan dan dipertontonkan dalam acara-acara tertentu.
Sebagai suatu kesenian yang sangat digemari oleh masyarakatnya dengan
syair-syair puisi sebagai unsur utamanya, maka pada masa penjajahan
Belanda kesenian ini telah dimanfaatkan
untuk membangkitkan rasa fanatisme kelompok,
kampung dan suku guna mendukung
politik pecah belah (defide et empra). Syair-syair dan puisi dalam Didong yang
pada awalnya berisi petuah-petuah, nasehat-nasehat, tamsil mengenai masalah
kehidupan sosial dirubah menjadi sarana propaganda.23
Karena adanya pengaruh dan
kepentingan kolonial, maka dalam perkembangan selanjutnya kesenian ini telah
mengalami pembaharuan-pemaharuan. Baik dari segi peran dan fungsi, isi syair
puisi serta tema-tema karangan. Pembaharuan itu dapat dilihat dalam beberapa
periode perkembangan dari seni Didong.24 Setidaknya ada empat priodeisisasi, kesemuanya pada akhirnya berhenti
pada eksistensisnya sebagai sebuah kesenian tradisional dengan syair pusi
sebagai unsur utama. Dimana pada priode tarkahir jenis kesenian ini telah
menjadi media komunikasi dan saluran silaturahmi antar masyarakat, menjadi
mediator antara pemerintah dangan rakyat dan antara umat dengan ulama. Di
samping itu seni Didong juga merupakan sumber nilai dalam budaya Gayo.
D. Syair Didong
Sebagai Media Komunikasi
Islam menganjurkan umatnya untuk senantiasa berkomunikasi kepada
sesama manusia juga kepada Tuhannya. Senada dengan itu para pakar mengatakan
bahwa tidak ada orang yang dapat menghindar untuk berkomunikasi. Karena
berkomunikasi memang sunnatullah. Komunikasi adalah kodrat bagi manusia. Tuhan
menciptakan manusia berbeda-beda, bersuku-suku bangsa untuk saling mengenal.
Dari proses saling mengenal inilah terjadi komunikasi antar manusia. Ketika surat Al-Alaq diwahyukan
kepada Muhammad Saw, maka benih ilmu komunikasi sudah ditebarkan. Ketika
manusia memohon do'a, terjadilah komunikasi transenden. Demikianpun ketika dari
masjid-masjid dikumandangkan suara azan, maka contoh komunikasi massa islami telah diterapkan.25
Komunikasi Islami bertujuan bukan saja menyampaikan pesan atau
informasi kepada pihak lain, tetapi juga mengajak kepada jalan kebaikan (amar
ma’ruf nahi munkar) yaitu jalan dan ajaran agama Islam dengan landasan
keimanan. Komunikasi semacam ini bagi seorang muslim menjadi wajib hukumnya.
Komunikasi tidak saja menjadi suatu yang dapat menghubungkan antar satu orang
atau lebih, tetapi juga menjadi bagian dari perbuatan kebaikan sekaligus amal
ibadah bagi komunikatornya.
Syair sebagai bagian dari kesenian adalah merupakan sesuatu yang
umum, terdapat dalam setiap nyanyian dan seni sastra tradisonal. Ia bukan saja
menjadi bagian dari kesenian tetapi juga telah menjadi media. Syaikh Madun
Rasyid dalam bukunya yang berjudul Wadhaya Al-Lahwi wa At-Tarfih
mengutip pendapat Doktor Najib Al-Kailani menggambarkan kedudukan, peran dan
perjalanan syair dari zaman ke zaman.
Syair karya orang-orang jahiliyah cenderung mengangkat topik tentang
kehormatan, keturunan, dan harga diri. Syair mereka juga membanggakan
tuhan-tuhan yang palsu dan nilai-nilai lalim yang hanya melahirkan kerusakan,
dan kehancuran. Syair mereka tidak mengandung nilai-nilai agung. Padahal untuk
menciptakannya mereka harus mempertaruhkan darah nyawa, dan harta. Mereka hanya
membangga-banggakan kemuliaan nenek moyang serta idiologi dan gambaran mereka
tentang kematian, kehidupan, kekuasaan, dan kekerasan. Ketika Islam datang,
syair masih dalam keadaan seperti itu. Kemudian Islam mengakui syair yang
sesuai dengan nilai-nilai keutamaan, dan mengingkari yang sebaliknya.26
Pendapat Najib Al-Kailani tersebut membuktikan bahwa penggunaan dan
pemanfaatan kesenian terutama syair sebagai media untuk menyampaikan pesan,
telah berkembang sejak pra Islam. Selanjutnya ketika Islam hadir hal tersebut
terus berkembang dan menjadi bagian dari sarana penyebarluasan ajaran dan
pemahaman tentang agama Islam. Hal tersebut dikuat lagi oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani yang menyatakan bahwa :
“…karena nyanyian biasanya berbentuk syair (lirik). Syair itu
tidaklah haram secara mutlak. Karena Nabi Saw. sendiri menyatakan :
ان
من الشعر حكمة
Artinya:
“Sesungguhnya
di antara syair ada yang mengandung hikmah”.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan disebutkan takhrijnya dalam Ash-Shahihah
(No.2851). Rasulullah Saw juga mengungkapkan syair. Disebutkan takhrijnya dalam
Ash-Shahihah (2058), lihat pula komentar terhadapnya dalam buku Shahih
Al-Adab Al-Mufrad, yang antara lain menyebutkan Rasulullah Saw pernah
bersabda ketika beliau ditanya tentang syair, beliau menyatalkan bahwa :
هو كلا م,
فحسنه حسن, الشعر وحبيه قبيح
Artinya:
“ٍSyair adalah ucapan: yang baik di
antaranya adalah ucapan baik, dan yang buruk di antaranya adalah ucapan buruk”.27
Sastra Islam adalah salah satu bentuk -dari sekian bentuk- dakwah
Islam, dengan menggunakan ungkapan-ungkapan autentik yang sesuai dengan
tujuan-tujuan luhur Islam serta menjauhi berbagai teori dan aliran sastra asing
di seluruh penjuru dunia. Sastra Islam adalah seni ekspresi bahasa tingkat
tinggi tentang manusia, kehidupan alam semesta. Di samping gambaran tugas di
atas, para pekerja seni sastra Islam juga mengemban misi menampilkan keagungan
Islam dalam matra kebenaran, kebaikan dan keindahan. Karena kebenaran adalah
tujuannya, kebaikan adalah jalannya dan keindahan adalah tempat lahirnya
getaran emosional.28
Kesenian dengan syair sebagai bagian terpenting di dalamnya, sebagai
media komunikasi Islam yang berisi penyampaian pesan-pesan keagamaan diakui
pula oleh Azwar AN, bahwa sebenarnya dakwah atau penyampaian pesan-pesan agama
melalui seni adalah hal yang tepat. Alasan tersebut menurut Azwar AN lebih di
dasarkan atas; karena seni mempunyai kaedah tersendiri, tidak menggurui tetapi
dapat menyentuh hati nurani dan logika, etika seni dalam kaitan ini
mencerminkan keimanan yang berdasarkan tauhid, tata aturan hukum Islam dan
akhlak yang islami, dan ditambah pula dengan pesan-pesan yang memberikan
dorongan kepada umat untuk selalu meningkatkan perwujudan akhlak mulia dalam
kehidupan. Namun demikian jika seni digunakan sebagai media dakwah maka seni
pun harus mengacu pada prinsip etika seni Islam sebagaimana yang disebutkan di
atas, tentu dengan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip seni itu sendiri. Hal
tersebut karena Alquran mengajarkan bahwa
ketika ia menggunakan sastra manusia itu, kendatipun disana ada rahasia
Ilahiyah yang tak mampu tersingkapkan oleh manusia secara tuntas kerana berada
di luar jangkaunnya.29
Karena selain seni bertujuan menimbulkan kesenangan yang bersifat
estetik dan menurut konsepsi Islam harus dipadukan dengan etika. Tertariknya
manusia kepada keindahan, dimanfaatkan oleh seniman agar karyanya mendapat
respons oleh masyarakat selaku penikmat sekaligus audiens. Kalau seni
mengandung daya tarik mengapa tidak dimanfaatkan dalam dakwah, sehingga dakwah
(komunikasi Islam) mendapat respons positif dari khalayak (audience).30
Berbagai unsur dari seni sastra ialah pokok sosial, tema, dalil,
alur, makna (termasuk makna ganda), tamsil, kiasan, matrik, dan suatu nilai.
Seni puisi misalnya memamfaatkan sepenuhnya makna ganda. Para Filsuf seni
umumnya sepakat bahwa seni sastra termasuk seni perlambang atau simbol,
kadang-kadang simbolisme yang dipergunakan dalam seni ini demikian abstrak dan
sulit sehingga misalnya sebuah sajak tidak dapat dimengerti oleh orang-orang.31
Kesenian dengan unsur syair merupakan salah satu seni yang mediumnya
tidak bersifat internasional. Masing-masing bangsa dan suku bangsa memilki
bahasanya sendiri, sehingga suatu bangsa
tidak dapat mengerti karya sastra bangsa lain kalau tidak menguasai bahasa dari
bangsa lain itu, terkecuali bahasa tersebut telah diterjemahkan. Hal itu pun
biasanya dari segi estetik verbalitas dan makna sudah terganggu. Tetapi usaha
untuk menganalisis isinya ditinjau dari segi komunikasi akan membawa kita
kepada suatu pemahaman yang konprehensif kandungan muatan nilainya.
Demikian, proses transfer of felling (pengalihan persaan) dalam hal ini
termasuk juga pengalihan pesan dari komunikator kepada komunikan dan
mengaitkannya dengan inti dari proses sebuah komunikasi Islam yaitu; pengalihan
pesan dari komunikator kapada penerima atau audiens, setiap jenis kesenian
dapat menjadi media yang baik untuk mencapai keberhasilan pengalihan pesan.
Karena pengalihan perasaan dalam kesenian adalah juga peralihan nilai dan
peralihan pesan, baik itu nilai estetika sebuah kesenian maupun pesan yang
terangkum di dalamnya, baik berupa norma-norma dari sistem budaya, ajaran
agama, pengetahuan dan lain sebagainya.
Kesenian Didong sebagai seni tradisional masyarakat Gayo yang isinya
berpedoman pada sistem budayanya, baik mengenai pengetahuan, kepercayaan,
nilai, norma-norma yang hidup dalam budaya masyarakat pemilik kesenian tersebut
yang telah mendapat pengaruh dari unsur sistem budaya yang berasal dari agama
Islam.32
Dengan demikian komunikasi dalam syair seni Didong juga berisi
ajaran-ajaran dari agama Islam. Adapun
kekuatan penyampaian informasi melalui seni secara sederhana dapat dilihat dari peran kesenian tersebut baik
sebagai media, ekspresi, hiburan dengan segala pesan-pesan budaya yang di
dalamnya, secara langsung telah mempengaruhi para penikmat kesenian tersebut,
pemahaman dan proses transper nilai.
Seni Didong melalui untaian syair-syairnya menginformasikan tentang
berbagai hal, mulai dari sejarah sampai kepada pensosialisasian Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) berikut dengan jabaran tiap-tiap sila
dalam Pancasila, misalnya. Seni Didong dengan gaya
bahasanya sendiri mampu mengkomunikasikan kepada rakyat di pedesaan tentang
program pelaksaan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) Republik Indonesia pada masa kekuasaan Orde
Baru.
Keberadaan teknologi komunikasi seperti televisi, koran dan radio
yang belum menyentuh sebagian besar masyarakat, terutama yang berada di
pedalaman dan jauh dari Ibu Kota Kecamatan dan Ibu Kota Kabupaten memposisikan Didong
melalui syair-syairnya sebagai satu-satunya media yang mampu mengkomunikasikan
berbagai hal kepada masyarakat luas. Disaat media komunikasi tersebut belum
menyentuh seluruh lapisan masyarakat, di tengah kenyataan minat baca masyarakat
yang sangat rendah, di antara sela itulah Didong tampil mengkomunikasikan dan
mewartakan informasi dan kejadian-kejadian aktual dan faktual.
Bencana gempa dan gelombang raya Tsunami pada tanggal 24 Desember
2004 yang menerjang Banda Aceh dan sepanjang pesisir Serambi Mekah itu
diinformasikan keberbagai pelosok pedalaman dan dataran tinggi Gayo melalui
syair-syair Didong. Tema yang menjadi sorotan syair seni Didong yang dikaitkan
langsung dengan komunikasi adalah menyangkut bencana alam gempa dan gelombang
Tsunami, perdamaian antara GAM dan TNI serta menyangkut pemilihan kepemimpinan
daerah dalam Pemilihan Langsung Kepala Daerah (PILKADA).
Cerminan syair-syair dari ketiga isu tersebut dapat kita simak dalam
kutipan di bawah ini:
Peringeten bele asalni musibah
Bobon kin istilah gelumang
Tsunami
I balik oya ara rupen hikmah
Renye musyawarah so GAM
urum RI
Terjemahannya:
Peringatan bencana melalui musibah
Disebut dengan istilah
gelombang Tsunami
Dibalik itu rupanya ada
hikmah
Kemudian bermusyawarah GAM
dengan RI
Dalam konteks ini, syair seni Didong Gayo seakan kembali mengingatkan
kepada masyarakat bahwa pada setiap bencana yang diturunkan Allah SWT di atas
bumi sesungguhnya mengandung hikmah atau pelajaran yang sangat berharga. Dalam
syair di atas dengan jelas disebutkan bahwa sebagian hikmah dari bencana gempa
dan gelombang Tsunami yang menimpa masyarakat, salah satunya adalah timbulnya
itikat baik dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) baik yang berada di luar maupun di
dalam negeri dengan pihak pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk mengakhiri
pertikaian bersenjata selama tiga puluh tahun dengan cara berdamai.
Sementara sebelum terjadinya bencana Tsunami kedua belah pihak
seakan tidak pernah menemukan kesepakatan yang berarti dalam setiap negosiasi
dan perundingan, meskipun hal tersebut telah dilakukan berulang kali di beberapa
tempat, baik di dalam maupun luar negeri. Setelah terjadinya bencana Tsunami
yang menyentakkan rasa kemanusiaan dari berbagai negara, perundingan damai
antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pihak pemerintah Republik Indonesia
(RI)-pun kemudian berjalan dengan mulus seolah tanpa kendala yang berarti.
Keberhasilan proses damai ini oleh syair seni Didong dianggap dan
ditafsirkan sebagai bagian dari hikmah sekaligus berkah yang luar biasa dari
musibah gempa dan gelombang Tsunami. Kandungan syair juga menyiratkan penting
dan bermaknanya sebuah perdamaian antara pihak yang bertikai, terutama bagi
rakyat jelata yang justru tidak pernah tau secara pasti sebab-musabab mengapa
permusuhan sampai terjadi sedemikian panjang dan menelan korban manusia yang
tidak sedikit. Hikmah perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan
pemerintah Republik Indonesia (RI) ditambah dengan bencana Tsunami, secara
maknawi dicerminkan dari keseluruhan teks syair.
Melalui syair-syair yang berisi pesan keislaman tersebut, seni
Didong berusaha mengingatkan manusia yang terkena bencana untuk tetap optimis
dalam menjalankan kehidupan, jangan berlarut-larut dalam kesedihan serta seruan
untuk tetap tabah dan sabar dalam segala hal. Pesan-pesan ini di tampilkan
dalam bait-bait syair dengan susunan kata dan gaya bahasa yang menyentuh.
Pemadatan pesan komunikasi dan makna melalui syair pun demikian
kentara, sehingga setiap pendengar yang menyimak lantunan syair seni Didong ini
didendangkan dengan sendunya, membutuhkan daya apresiasi dan daya tangkap
tersendiri dalam menyimak. Tanpa proses tersebut inti komunikasi yang
disampaikan oleh para aktor pendendang (Ceh) tidak akan sampai pada
hakekat makna syair. Demikianpun jika proses apresiasi serta kemampuan
mencerna, menyimak dan berpikir tidak berjalan seiring dengan lantunan syair,
maka para penonton hanya akan dapat menangkap muatan pesan tersebut adalah
bagian dari sebuah hiburan.
Komunikasi informasi dan komunikasi islami dalam beberapa syair
tampak disatukan secara langsung dan memadai sebagai sebuah proses transfer
nilai, hal tersebut dapat disimak dalam kutipan syair berikut :
Engon sareh panang nyata
Kukute Banda sawah ujien
Gempa Tsunami nemah makna
Munarah nijema kati berimen
Gelomang Tsunami ibobun kin
data
Munetes jema bidang kejujuren
Fakir miskin mengharap
derma
Dabuh si kaya nerime
bantuen
Ulak mikite keta ku agama
Si enguk mungoa i ate
berimen
Ike gati tungkuk ku musalla
Kite gere ne mera salah
jelen
Terjemahannya :
Lihat jelas dipandang nyata
Ke Kota Banda tiba cobaan
Gempa Tsunami membawa makna
Mengarahkan manusia agar
beriman
Gelombang Tsunami dijadikan
fakta
Menguji orang dibidang
kejujuran
Fakir miskin mengharap
derma
Mengapa yang kaya menerima
bantuan
Kembalilah kita ke agama
Yang dapat melarang di hati
yang beriman
Jika sering sujud ke
sajadah
Kita tidak lagi salah jalan
Menyimak makna yang terkandung dalam syair di atas, para senimannya berpandangan
bahwa bencana adalah sebuah ujian dari Allah SWT, mengingatkan manusia agar
beriman kepada sang Khalik, menyerukan agar kembali kepada ajaran agama. Jika
melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim dengan mendirikan shalat, maka
umat tidak akan salah jalan. Dengan demikian kehidupan akan diberi petunjuk ke
arah yang benar sejalan dengan tuntunan agama.
Syair tersebut juga menjadi alat tunjuk dalam mengkomunikasikan
pesan yang disampaikan dengan kalimat bernuansa seruan, sekaligus sebagai
kalimat perintah dan kesaksian; engon
jela panang nyata (lihat jelas dipandang nyata). Kemudian juga menyodorkan
fakta; ku kute Banda sawah ujien (ke kota Banda tiba ujian), dua bait berikutnya
adalah penafsiran dari bait-bait sebelumnya yang menjadi inti dari komunikasi
dan pesan keislaman; gempa Tsunami munemah makna munarah ni jema kati
berimen (gempa Tsunami membawa makna mengarahkan manusia agar beriman).
Pada syair lainnya, seni Didong juga memberi gambaran bahwa
tanda-tanda kekuasaan Allh SWT telah
sedemikan nyata di gambarkan ke kehadapan penglihatan mata berupa bencana, pada
bait berikutnya juga mengingatkan agar
manusia berbenah dan kembali menata kehidupan sendiri tanpa menunggu bantuan
dari pihak lain. Manusia disarankan untuk bangkit dari bencana dan kehilangan
harta benda, tanpa menempatkan diri sebagai orang yang menerima bantuan, mental
pengemis dan ingin dibelaskasihani. Konsep "harga diri" dan konsep
untuk merubah ini dijelaskan sebagaimana terkandung dalam makna syair di bawah
ini;
So bele nge teridah ku mata
o umet wan donya berubah
mikite
Tuhenpe gere murubah
nasipte
tekecuali kegere kite kin
dirinte munetahie
Terjemahannya :
Itu bencana sudah tampak di
depan mata
wahai umat di atas dunia
berubahlah kita
Tuhanpun tidak merubah
nasip kita
terkecuali kalau tidak diri
kita sendiri merubahnya
Isi syair ini berhubungan langsung dengan konsep "merubah
nasip" dalam pandangan Alquran. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT
dalam surat Ar
Ra'du ayat 11 yang menyatakan bahwa; Allah SWT
"tidak akan merubah nasip suatu kaum, jika kaum itu sendiri tidak
merubah nasipnya sendiri".
Demikianpun muatan syair ketika menyampaikan informasi dan data
tentang pendidikan terutama setelah terjadinya bencana Tsunami. Syair seni
Didong memberikan informasi tentang banyaknya rumah sekolah yang rusak dan
hanyut, hingga anak-anak tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, baik dari
tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Sekolah Menengah Umum. Meskipun demikian
masyarakat tetap melaksanakan proses belajar mengajar meski dengan fasilitas
seadanya.
Tenaga pendidik dengan ikhlas memberi pelajaran di bawah tenda-tenda
pengungsian, meskipun sang guru sendiri adalah korban bencana. Syair seni
Didong juga menggambarkan bagaimana dedikasi para relawan dalam membantu proses
belajar mengajar. Memberikan pesan dan amanat kepada para orang tua agar
anak-anak mereka dapat dituntun belajar sewaktu berada di rumah. Syair seni Didong
memberikan perbandingan-perbandingan manusia di sisi Tuhan apabila tidak mau
belajar. Menceritakan keperibadian, keikhlasan dan pengorbanan guru, memberi
gambaran kualitas anak didik jika yang menjadi tenaga pengajarnya juga adalah
mereka yang mempunyai kompetensi dari segi jenjang pendidikan.
Sebagian dari isi syair tersebut sebagaimana terdapat dalam kutipan
di bawah ini :
Guru munejer urum perasaen
Sekalipun guru ara
muhalangen
Bidik pemerintah mumerah
jelen
Anak sekulah rawan urum
banan
Besiloni murid nge makin
maju
Bidik munerime penerangen
guru
Kerna simunejer bewene
bermutu
Dele es satu teba es due
Ku rayat sidele laingku
mutuju
Anak iumah boh nuke buku
Sebeb pendidiken olok pedi
perlu
Urum-urum ibantu lekati
semperne
Terjemahannya:
Guru mengajar dengan
perasaan
Sekalipun guru punya
halangan
Cepat pemerintah mencari
jalan
Anak sekolah lelaki dan
perempuan
Sekarang murid sudah
semakin maju
Cepat menerima penjelasan
guru
Karena yang mengajar semua
bermutu
Banyak S1 sebagian S2
Kepada rakyat banyak
amanatku tertuju
Anak dirumah diarahkan
membuka buku
Sebab pendidikan sungguh
sangat perlu
Bersama-sama kita bantu
agar sempurna
Dari segi komunikasi islami, muatan dan isi syair bukan lagi menjadi
sarana hiburan sebagai sebuah kesenian. Tetapi telah menjadi media penyampaian
informasi dan pesan yang bersifat memotivasi, mendukung dan mengarahkan orang
banyak kepada kebaikan, baik secara individual maupun sebagai bagian dari
komunitas masyarakat.
Demikian juga seni Didong sebagai media silaturrahmi, kesenian ini
menjadi wahana pertemuan bagi masyarakat dari berbagai kampung dan pelosok yang
sengaja datang berduyun-duyun ke tempat pertunjukkan. Di tempat itu mereka
bertemu dan saling menyapa antara sesama dan dengan sanak saudara dari kampung
lain. Fenomena ini selanjutnya menjadikan seni Didong sebagai media komunikasi massa, yang mampu
menghadirkan banyak orang dalam satu tempat.
Menjadi mediator antara pemerintah dangan rakyat dan antara umat
dengan tokoh agama adalah berdasarkan eksistensi kesenian ini yang tetap
terjaga. Melalui syair-syairnya seni Didong mampu menyampaikan pesan-pesan
dengan baik dan menarik. Terlebih pertunjukan kesenian ini selalu menjaga
sportivitas, kualitas dan validitas isi syair dengan isu-isu yang tengah
menjadi sorotan massa.
Dalam ruang lingkup sosiologi komunikasi, seni Didong dapat
digolongkan kepada social inter action, yaitu penyebar luasan informasi,
ide-ide, sikap-sikap, atau emosi dari seorang atau kelompok kepada yang lain,
terutama melalui simbol-simbol dan pesan-pesan.33
Karena ruang lingkup komunikasi menyangkut persoalan-persoalan yang ada
kaitannya dengan subtansi interaksi sosial orang-orang dalam masyarakat;
termasuk konteks interaksi komunikasi yang dilakukan secara langsung maupun
dengan menggunakan media.34
E. Kesimpulan.
Seni Didong adalah salah satu jenis kesenian tradisional masyarakat
Gayo yang masih bertahan hingga zaman modren ini, mempunyai social interest
yang tinggi dari setiap lapisan masyarakatnya. Kesenian Didong adalah perpaduan
antara seni tari dan seni suara dengan unsur sastra berupa syair-syair sebagai
unsur utamanya, berkembang dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat yang
berada di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh.
Keberadaan seni Didong melalui syair-syairnya bukan saja berperan
sebagai media dan sarana kesenian, lebih dari itu kesenian ini mempunyai peran
dan fungsi yang luas dalam dinamika kehidupan sosial. Di antaranya adalah (1)
Sebagai media menyalurkan nilai-nilai estetika masyarakat. (2) Sebagai media komunikasi
antara pemerintah dengan masyarakat, antara ulama dan umat dan antara
masyarakat dengan masyarakat sendiri. (3) Sebagai media informasi dan
penerangan untuk menyampaikan berbagai perkembangan dan program pembangunan,
sejarah, pelestarian adat dan budaya serta bencana alam. (4) Syair-syair seni Didong dari isi dan
kandungan makna mempunyai konsistensi dan kecenderungan yang tinggi dalam
mengkomunikasikan, menyampaikan pesa-pesan keislaman.
Daftar Pustaka
A.A Moenthe, "Didong Kesenian Tradisional Rakyat
Gayo Bermula dari Resam Berdemu", Persada (No. 5698, 1983)
A. Muis, Komunikasi Islam (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2001)
Azwar AN, "Dakwah Islam Dalam Nuansa Kebudayaan", Bakti
(No. 26, 1993)
Bachrum Bunyamin, "Dakwah Islam Dalam Nuansa Kebudayaan" Majalah Bakti ( No. 26, 1980)
Burhan Bugin, Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta:
Kencana, 2006)
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam Panorama Kebangkitan
Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat,
terj. A.Syamsu Rizal, et al., (Jakarta:
Serambi, 2005 )
Hamd Hasan Raqith, Merengkuh
Cahaya Ilahi Tanggungjawab Menegakkan Pilar-Pilar Dakwah Islam, terj. Ach.
Maimun Syamsuddin (Yogyakarta: Diva
Press, 1997)
Harun Mat Piah, Puisi Melayu Tradisional (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1989)
Husin, "Metode Dakwah Tarekat Sammaniyah pada Masyarakat
Gayo" (Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, 2003)
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi.Cet.8.(Jakarta:Rineka Cipta,
2002)
LK. Ara " Syaer Gayo Sastra Bernafas Relegius" Horison
(Januari, 1998)
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modren, (Jakarta: Pustaka Amani,
tt)
M. Affan Hasan, et al., (ed), Kesenian Gayo Dan
Perkembangannya (Jakarta: Balai Pustaka, 1980).
M.J Melalatoa, "Pesan Budaya dalam Kesenian," dalam
Berita Antropologi (No. XII)
-----------------, "Kesenian Didong dalam Perubahan
Masyarakat di Gayo",dalam Renggali, Lembaga Kebudayaan Gayo Alas Jakarta (No. 7)
-----------------, Didong Pentas Kreativitas Gayo (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia-Yayasan Sains Estetika Dan Teknologi-Asosiasi Tradisi Lisan,
2001)
Mohammad Hatta, Citra Dakwah Di Abad Informasi (Medan: Pustaka
Widyasarana, 1995)
McQuail dan Windahl dalam Burhan Bugin, Sosiologi Komunikasi Teori,
Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2006)
R.S. Subalidinata, Kesusastraan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1973)
Sali Gobal, Didong, "Denang Gayo" Bintang Pitu
Group, Produksi Seribu Satu Production (2003)
Soedjarwo, Bunga-bunga Puisi dan Taman
Sastra Kita (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1993)
Susanne K. Langer, Philosophical Sketchers, dalam The Liang
Gie, Filsafat Seni ( Yokyakarta: Publik, 1996 )
Syaikh Madun Rasyid, Hiburan Dan Waktu Luang Antara Kebutuhan Jiwa
dan Aturan Syari’at, terj. Abdurrasyad Sidik (Jakarta: Pustaka Al-Kausar,
1999)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Polemik Seputar Hukum Lagu
dan Musik, terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 1999)
Thantawy R, “Perkembangan dan Pembinaan Kesenian Gayo”, dalam M.
Affan Hasan, et al., (ed), Kesenian Gayo Dan Perkembangannya
(Jakarta: Balai Pustaka, 1980)
The Liang Gie, Filsafat Seni (Yokyakarta: Publik, 1996 )
Umar Kayam, Seni,Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar Harapan,
1981)
1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Cet. 8. (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002), h. 181. Cet. 8.
2 Umar Kayam, Seni,Tradisi, Masyarakat (Jakarta: Sinar
Harapan, 1981), h. 39.
3 Baca Tulisan LK. Ara " Syaer Gayo Sastra Bernafas
Relegius" dalam Horison (Bulan Januari, 1998), h.12-15. Serta
tulisan Husin dalam sebuah hasil penelitian ilmiyahnya "Metode Dakwah
Tarekat Sammaniyah pada Masyarakat Gayo" (Program Pascasarjana IAIN
Sumatera Utara, 2003), h. 75-100.
4 Thantawy R, “Perkembangan dan Pembinaan Kesenian Gayo”, di
dalam M. Affan Hasan, et al., (ed), Kesenian Gayo Dan Perkembangannya
(Jakarta: Balai Pustaka, 1980), h. 96.
5 Ibid, h. 64.
6 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modren, (Jakarta: Pustaka Amani,
tt), h. 205.
7 R.S. Subalidinata, Kesusastraan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1973),
h.30.
8 Soedjarwo, Bunga-bunga Puisi dan Taman
Sastra Kita (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1993), h. 6.
9 Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
h. 1114.
10 George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam Panorama Kebangkitan
Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat,
terj. A.Syamsu Rizal, et al., (Jakarta:
Serambi, 2005 ), h. 202-203.
11 Harun Mat Piah, Puisi Melayu Tradisional (Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1989), h. 211-212.
12 M.J. Melalatoa, Pelukisan singkat Unsur-unsur Kesenian Gayo,
dalam M. Affan Hasan, et al., (ed), Kesenian Gayo Dan Perkembangannya
(Jakarta: Balai Pustaka, 1980), h. 46.
13 Susanne K. Langer, Philosophical Sketchers, dalam The Liang
Gie, Filsafat Seni ( Yokyakarta: Publik, 1996 ), h. 14 .
14 The Liang Gie, Filsafat Seni (Yokyakarta: Publik, 1996 ), h.
15-18
15 Bachrum Bunyamin, "Dakwah Islam Dalam Nuansa Kebudayaan"
dalam Majalah Bakti ( No. 26, 1980), h. 12.
16 The Liang Gie, Filsafat Seni, hal. 15.
17 M.J Melalatoa, "Pesan Budaya dalam Kesenian," dalam
Berita Antropologi (No.
XII), h. 26
18 M.J. Melalatoa, "Kesenian Didong dalam Perubahan
Masyarakat di Gayo", dalam Renggali, Lembaga Kebudayaan Gayo Alas Jakarta ( No. 7), h.
5-6.
19 Sali Gobal adalah seorang seniman Didong legendaris yang banyak
melahirkan karya-karya syair Didong monumental. Ia meninggal dunia pada tanggal
25 Juli 1975 dalam usianya
yang ke 60
di kampung Kung Kecamatan Pegasing Takengon, Aceh Tengah. Lihat juga biografi
singkat Sali Gobal dalam M. Junus Melalatoa, Didong Pentas Kreativitas Gayo
(Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia-Yayasan Sains Estetika Dan Teknologi-Asosiasi Tradisi
Lisan, 2001), h. 67.
20 Sali Gobal, Didong, dalam
album kaset "Denang Gayo" Bintang Pitu Group, Produksi
Seribu Satu Production (2003), No. 4. Side A.
21 M. Junus Melalatoa, Didong Pentas Kreativitas Gayo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-Yayasan Sains Estetika
Dan Teknologi-Asosiasi Tradisi Lisan, 2001), h. 9.
22 A.A Moenthe, "Didong
Kesenian Tradisional Rakyat Gayo Bermula dari Resam Berdemu", dalam Persada
(No. 5698, 1983), h . IV.
23 Ibid, h. 52.
24 Ibid.
25 A. Muis, Komunikasi Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h.
kulit belakang.
26 Syaikh Madun Rasyid, Hiburan Dan Waktu Luang Antara Kebutuhan
Jiwa dan Aturan Syari’at, terj. Abdurrasyad Sidik (Jakarta: Pustaka Al-Kausar,
1999), h. 268-269. Cet.2.
27 Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Polemik Seputar Hukum
Lagu dan Musik, terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 1999), h.
145-146.
28 Hamd Hasan Raqith,
Merengkuh Cahaya Ilahi Tanggungjawab Menegakkan Pilar-Pilar Dakwah Islam,
terj. Ach. Maimun Syamsuddin
(Yogyakarta: Diva Press, 1997), h. 87-88.
29 Azwar AN, "Dakwah Islam Dalam Nuansa Kebudayaan",
di dalam Bakti (No. 26, 1993), h. 10-12
30 Mohammad Hatta, Citra Dakwah Di Abad Informasi (Medan:
Pustaka Widyasarana, 1995), h. 85.
31 The Liang Gie, Filsafat
Seni, h. 104-105.
32 M. Junus Melelatoa, "Pesan
Budaya Dalam Kesenian", di dalam Berita
Antropologi, (No. XI I I, 1989), h. 27.
33 McQuail dan Windahl di dalam Burhan Bugin, Sosiologi Komunikasi
Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana,
2006), h. 30-31.
34 Burhan Bugin, Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan
Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2006), h. 31.
0 komentar:
Posting Komentar