Pages

Kamis, 07 November 2013

Motif-motif Islam Dalam Karya A. S. Pushkin



Dr. Victor A. Pogadaev
(Universiti Malaya)
victor@um.edu.my


Di gua terpencil pada hari buangan
al-Quran kuhayati dengan kenikmatan.
A.S. Pushkin

Identitas dan Karakter Sastra Melayu


[1]

Oleh Darman Moenir

KESUSASTRAAN Melayu boleh berarti kesusastraan di semua wilayah Melayu: Indonesia, sebagian Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, dan Filipina.  Sekarang, Melayu mengalami pergeseran nilai. Itu antara lain disebabkan kemajuan teknologi informasi apa saja bisa masuk ke, dan tersimak dalam kehidupan. Namun, dari dulu, pada dasarnya kesusastraan Melayu terbentuk dan dipengaruhi Cina, India dan Arab dan Barat. Kesusastraan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Budha. Kerajaan-kerajaan bernafaskan Hindu dan Budha mendominasi Nusantara abad ke-5 Masehi, ditandai dengan kehadiran kerajaan tertua sampai penghujung abad ke-15.
Kesusastraan Cina masuk melalui interaksi perdagangan, bersama perantau dari selatan Tiongkok. Mereka menetap, menikahi penduduk lokal, menghasilkan perpaduan kesusastraan yang unik. Kesusastraan seperti ini kemudian jadi akar kesusastraan lokal modern Melayu. Kesusastraan Arab masuk melalui penyebaran Islam. Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, menghasilkan pelbagai bentuk kesusastraan Barat. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti perekonomian, dan sebagainya, banyak diadopsi dari Barat, dan berkarakter Barat.

Cerminan “Takdir” dalam Kultur Jawa dan Padang pada Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli



Muhardis

abstrak
Jodoh adalah salah satu ketetapan Tuhan, selain maut dan rezeki. Akan tetapi, banyak pendapat yang berkembang bahwa jodoh memang telah ditetapkan, namun manusia tetap disuruh untuk berusaha menemukan jodohnya sendiri. Setelah menemukan seseorang yang benar-benar diyakini sebagai jodoh, langkah selanjutnya adalah menyerahkan semuanya pada Tuhan. Inilah yang dikatakan sebagai Takdir. Dalam hal perjodohan, ada kalanya Tuhan memberikan petunjuk bagi siapa-siapa yang dikehendakinya. Hal ini lah yang dijadikan sebagai suatu keyakinan oleh beberapa tokoh dalam novel Memang Jodoh. Mimpi, ramalan, dan tenung dianggap sebagai cara-cara Tuhan dalam memberi petunjuk tentang jodoh. Dalam usaha pemenuhuan takdir tersebut, ada yang mendatangi dukun, ada pula yang mengancam untuk bunuh diri. Di sisi lain, ada beberapa tokoh yang berusaha menentang Takdir tentang jodoh tersebut. Penentangan ini dilakukan dengan cara meracuni, ancaman pemutuskan tali persaudaraan, bahkan ancaman pembunuhan. Melalui novel Memang Jodoh ini, dapat diketahui bagaimana cerminan takdir, dikaitkan dengan kultur jawa dan Padang sebagai latarnya.
Keyword: takdir, jodoh, kultur, jawa, Padang

Cerminan “Takdir” dalam Kultur Jawa dan Padang pada Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli



Muhardis

abstrak
Jodoh adalah salah satu ketetapan Tuhan, selain maut dan rezeki. Akan tetapi, banyak pendapat yang berkembang bahwa jodoh memang telah ditetapkan, namun manusia tetap disuruh untuk berusaha menemukan jodohnya sendiri. Setelah menemukan seseorang yang benar-benar diyakini sebagai jodoh, langkah selanjutnya adalah menyerahkan semuanya pada Tuhan. Inilah yang dikatakan sebagai Takdir. Dalam hal perjodohan, ada kalanya Tuhan memberikan petunjuk bagi siapa-siapa yang dikehendakinya. Hal ini lah yang dijadikan sebagai suatu keyakinan oleh beberapa tokoh dalam novel Memang Jodoh. Mimpi, ramalan, dan tenung dianggap sebagai cara-cara Tuhan dalam memberi petunjuk tentang jodoh. Dalam usaha pemenuhuan takdir tersebut, ada yang mendatangi dukun, ada pula yang mengancam untuk bunuh diri. Di sisi lain, ada beberapa tokoh yang berusaha menentang Takdir tentang jodoh tersebut. Penentangan ini dilakukan dengan cara meracuni, ancaman pemutuskan tali persaudaraan, bahkan ancaman pembunuhan. Melalui novel Memang Jodoh ini, dapat diketahui bagaimana cerminan takdir, dikaitkan dengan kultur jawa dan Padang sebagai latarnya.
Keyword: takdir, jodoh, kultur, jawa, Padang

Najmah Sayuti, MA, Mphil



BATAGAK SURAU: Mungkinkah?[1]

Tulisan ini terinspirasi dari makalah DR. Mestika Zed Masalah-masalah Teoritis dan  Metodologis dalam Kajian Sejarah Agama yang disampaikan pada diskusi Rabuan Dosen Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang tanggal 15 Mei 2013. 
Berangkat dari pembacaannya terhadap buku Heart and Minds: Can we write Religious History from Traces? (Michel Vivol, 1990), kajian Agama Islam, menurut Mestika Zed, di samping harus menetapkan entitas ajaran Islam sebagai patokan, ia bisa masuk ke seluruh bidang kehidupan.  Dalam bidang sain, misalnya tentang kloning atau pencangkokan organ tubuh, apa dan bagaimana pendapat para ulama atau umat Islam tentang kasus ini. Lalu tentang kesejajaran Islam dengan kebijakan atau program suatu rejim pemerintahan, bagaimana misalnya ulama dan umat Islam merespon program KB, dst.  Terkait dengan ini, bukti-bukti sejarah tidak melulu berupa teks (dokumen) atau kepustakaan.  Melainkan juga berupa symbol-simbol (ikonografi) dan gesture (bahasa tubuh) serta bahasa sehari-hari (kajian sejarah agama dari sudut penggunaan bahasa).   Misalnya dahulu, masyarakat Minangkabau terbiasa mengunakan kata surau untuk merujuk kepada institusi pendidikan dan pengajaran agama Islam. Namun lambat laun kata ini hilang dalam penggunaan dan diganti dengan kata pesantren.  Bagi Mestika Zed, ini bukan gejala sederhana.  Ini berkaitan dengan banyak faktor.  Misalnya terkait politik anggaran untuk Jawanisasi dan seterusnya serta tidak  adanya mata anggaran Kemenag RI untuk bantuan surau dan yang ada hanya bantuan untuk pesantren.  Maka ramai-ramailah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat menggunakan kata pesantren. 

Sastra dan Beban Identitas

Bahasa dan Sastera Melayu di Patani Selatan Thai



Oleh : Phaosan Jehwae[1]

1.1              Pengantar

Sejak abad 17 M hingga awal abad 20 M, Patani[2] merupakan pusat dakwah dan pendidikan yang termashur di seluruh penjuru dunia. Kemashuran Patani mengundang para pelajar dari pelbagai negeri datang ke Patani untuk mendalami ilmu sehingga ia menjadi pusat persuratan Melayu Islam. Bukti-bukti Patani sebagai pusat persuratan Melayu terkenal dapat kita lihat dengan muncul ulama-ulama berkalibar dunia dengan beratus buah kitab-kitab agama dan kesusteraan dalam bahasa Melayu dan bahasa Arab.

Pada akhir abad 20 M, kedudukan Patani sebagai pusat dakwah dan pendidikan termashur berakhir. Patani tidak lagi mencetak penulis dan ulama terhebat dulu. Di masa ini pula, persuratan Melayu Islam mulai muram dan pada tahun 1950-an titik akhir persuratan Melayu Islam terhenti[3].