Pages

Kamis, 07 November 2013

Cerminan “Takdir” dalam Kultur Jawa dan Padang pada Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli



Muhardis

abstrak
Jodoh adalah salah satu ketetapan Tuhan, selain maut dan rezeki. Akan tetapi, banyak pendapat yang berkembang bahwa jodoh memang telah ditetapkan, namun manusia tetap disuruh untuk berusaha menemukan jodohnya sendiri. Setelah menemukan seseorang yang benar-benar diyakini sebagai jodoh, langkah selanjutnya adalah menyerahkan semuanya pada Tuhan. Inilah yang dikatakan sebagai Takdir. Dalam hal perjodohan, ada kalanya Tuhan memberikan petunjuk bagi siapa-siapa yang dikehendakinya. Hal ini lah yang dijadikan sebagai suatu keyakinan oleh beberapa tokoh dalam novel Memang Jodoh. Mimpi, ramalan, dan tenung dianggap sebagai cara-cara Tuhan dalam memberi petunjuk tentang jodoh. Dalam usaha pemenuhuan takdir tersebut, ada yang mendatangi dukun, ada pula yang mengancam untuk bunuh diri. Di sisi lain, ada beberapa tokoh yang berusaha menentang Takdir tentang jodoh tersebut. Penentangan ini dilakukan dengan cara meracuni, ancaman pemutuskan tali persaudaraan, bahkan ancaman pembunuhan. Melalui novel Memang Jodoh ini, dapat diketahui bagaimana cerminan takdir, dikaitkan dengan kultur jawa dan Padang sebagai latarnya.
Keyword: takdir, jodoh, kultur, jawa, Padang

PENDAHULUAN
Memang Jodoh adalah novel terakhir dari Marah Rusli. Banyak yang berpendapat bahwa isi novel ini merupakan semiautobigrafi Marah Rusli itu sendiri. Pandangan ini tidak sepenuhnya bersifat subjektif karena di awal novel, terdapat sedikit prakata dari Rully Roesli, salah seorang cucu Marah Rusli. Di bagian awal prakata ini, Rully bercerita bagaimana masa-masa ia menyaksikan Marah menulis draft novel Memang Jodoh ini. Menurutnya, novel ini ditulis Marah jauh sebelum munculnya Sitti Nurbaya. Sebelum sampai ke tangan pembaca, novel ini melalui proses panjang karena naskahnya ditulis dalam tulisan arab gundul.          (http://horisononline.or.id/rampai-rampai/novel-memang-jodoh-persembahan-terakhir-marah-roesli).
Novel ini dapat dikatakan termasuk angkatan  Balai Pustaka. Kawin paksa dan sikap otoriter orangtua dalam menentukan jodoh anak (Mujiyanto, 2007:26) dalam novel ini, dianggap sebagai penciri karya ini sebagai karya angkatan Balai Pustaka. Akan tetapi, tidak sepenuhnya cerita dalam novel ini menyikapi adat kawin paksa dan dominasi orang tua sebagai sesuatu yang wajar. Melalui dialog antartokoh, dapat diketahui bagaimana “pemberontakan” Marah Rusli. Ia lebih menganggap jodoh bukanlah berada di tangan orangtua atau mamak. Jodoh adalah semata-mata hak otoriter Tuhan yang telah ia tuliskan di Lauhul Mahfuzh. Jodoh adalah takdir dari yang Mahakuasa.
Marah Rusli mengambil setting tempat, waktu, peristiwa, dan suasana di Padang dan Jawa Barat. Selain itu, pengarang juga mengambil setting benda-benda (seperti kartu dan gasing tengkorak) sebagai penghubung dengan penokohan dan perwatakan pelakunya. Aminuddin (2010:70) menekankan bahwa setting yang dihadirkan seorang pengarang dalam karya fiksinya, perlu diperhatikan karena setting mampu menyiratkan makna-makna tertentu sehingga bersifat metaforis. Entah disengajanya atau tidak, Padang adalah ibukota Sumatera Barat, dan Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang ada di bagian barat pulau Jawa. Kesamaan keduanya adalah sama-sama berada di bagian barat. Selain itu, ternyata kedua wilayah barat ini juga memiliki beberapa kesamaan dalam memaknai takdir.
Dalam makalah ini, penulis akan mendeskripsikan bagaimana pandangan kultur Jawa dan Padang dalam menyikapi takdir yang direfleksikan pengarang, Marah Rusli, dalam novelnya Memang Jodoh. Pembahasan diawali dengan apa itu takdir, bagaimana pandangan orang-orang Jawa Barat dan Padang terhadap takdir, dan usaha-usaha dalam pemenuhan maupun penolakan takdir tersebut.
PEMBAHASAN
Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya, baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya, maupun waktunya. Dengan demikian, segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia (Al-Quran, QS.Yusuf [12]; Ayat:68). Dari terjemahan ayat ini dapat diketahui bahwa takdir manusia sudah ditentukan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
Masalah takdir yang diangkat sebagai pokok cerita dalam novel Memang Jodoh ini lebih dekat pada takdir jodoh. Jodoh sudah diatur oleh Tuhan. Mengenai pandangan bahwa takdir memang sudah dituliskan di Lauhul Mahfuzh, termasuk jodoh sebagai suatu takdir, memang tidak sedikit pun terdapat keraguan bagi orang Jawa Barat.
“Rupanya perjodohan itu bukanlah perbuatan dan kekuasaan manusia saja, melainkan memang telah ditetapkan di Lauhul Mahfuzh” (MJ:141)

Kutipan di atas adalah tuturan dari Radin Asmawati, tokoh perempuan asal Jawa Barat. Radin asmawati adalah anak Radin Jaya Kesuma yang ahli agama. Dari tuturan di atas diketahui bahwa secara tidak langsung, orang Jawa Barat masih memercayai bahwa jodoh sebagai suatu takdir memang telah ditentukan oleh Nya.
Pandangan terhadap takdir bagi sebagian tokoh dalam novel ini, baik orang-orang Padang maupun Jawa Barat, lebih bersikap pasrah, meskipun sebagian lain juga berusaha menolak takdir tersebut. Bagi mereka yang menganggap semua yang terjadi adalah takdir Tuhan, mereka cenderung tidak berlaku apa-apa selain menyerahkan semua urusan pada Tuhan. Semua ada dalam kendali Tuhan.
“…karena sudah nasibku seperti ini. Telah ditakdirkan Tuhan, tak dapat diubah lagi. Oleh sebab itu, biarlah aku menepati untung nasibku ini.” (MJ:90).

Kutipan di atas merupakan kepasrahan tokoh utama Hamli tentang kehidupannya. Hamli adalah pemuda keturunan ayah dari Padang dan ibu dari Jawa. Perkataan tersebut ia tuturkan saat dirinya ditanyai kawan-kawan sesama murid Sekolah Raja. Sekolah Raja adalah sekolah yang diperuntukan untuk calon guru. Hamli dan kawan-kawannya diceritakan sedang melakukan permainan domino sebagai perentang hari menuju hari perpisahan. Kawan-kawannya bertanya apa yang akan ia lakukan selepas ia tamat dari Sekolah Raja. Hamli hanya berpasrah saja terhadap kehidupannya kelak.
Selain Hamli, tokoh Ratu Maimunah, ibu dari Radin Asmawati (istri Hamli), juga mewakili pengarang mencerminkan kesamaan pola pikir orang Jawa Barat dengan orang Padang. Takdir adalah sesuatu yang ketetapannya tidak dapat ditentang.
“Sekalian nasihat dan perkataan Adinda Patih tadi memang benar, tetapi dapatkah kita menentang takdir Tuhan?”

Tuturan Ratu Maimunah ini muncul saat ia mengabari rencana perjodohan Radin Wati dengan Hamli, seorang laki-laki asal negeri seberang (Padang) kepada saudaranya Patih Anggawinata. Ia menganggap kalau pertemuan anaknya, Din Wati dengan Hamli adalah jodoh yang telah ditentukan sebagai takdir keduanya.
Kepasrahan tokoh-tokoh dalam novel ini untuk menerima takdir Tuhan tidak serta merta merupakan kepasrahan tanpa alasan. Mereka berlaku demikian dikarenakan hal-hal yang bersifat kepercayaan. Danandjaya (1991:153) mengistilahkan kepercayaan ini dengan folk belief. Kepercayaan rakyat ini tidak berdasarkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Melalui novel ini, pengarang mencerminkan folk belief yang hidup di tengah-tengah kebudayaan Padang dan Jawa Barat. Kepercayaan tersebut dapat berupa percaya pada mimpi, ahli nujum, praktik pertenungan, dan ramalan orang-orang suci. Kepercayaaan inilah yang memaksa beberapa orang tokoh dalam novel ini untuk menerima takdir yang seolah-olah di”kirimkan” Tuhan melalui orang-orang “suci” tersebut.
Definisi 'tenung' adalah kepandaian untuk mengetahui (meramalkan) sesuatu yang gaib (seperti meramalkan nasib, mencari orang hilang): juru (tukang, pandai) adalah ilmu hitam untuk mencelakakan orang. Tenung dilakukan oleh seorang dukun. Dukun tenung adalah dukun yang memiliki atau mampu menggunakan kekuatan gaib terhadap manusia. Sementara itu, nujum adalah perbintangan untuk meramalkan (mengetahui) nasib orang dsb: orang yg mengetahui segala alam. (KBBI:2008)
Kisah perjodohan Hamli dengan Radin Wati diawali dari mimpi Anjani, ibu Hamli. Ia sangat mempercayai bahwa jodoh anaknya, Hamli, tidak berasal dari tanah Minang.
“Tatkala dia tiga bulan dalam kandungan ibunya, Anjani telah mendapat ilham, yaitu mimpi. Dalam mimpi itu, suaminya Sutan Bendahara, datang dari tanah Jawa membawakannya seekor burung bayan (Nuri) yang amat elok rupanya” (MJ:138).

Merasa aneh dengan mimpinya, Anjani mendatangi ahli nujum. Hasil nujum inilah yang selalu dipegang Anjani.
“Ketika kami tanyakan kepada ahli nujum yang pandai, apa tabir mimpi itu, dia berkata: anak yang dikandung Anjani, Hamli ini, jodohnya ada di tanah Jawa” (MJ:141)

Lagi-lagi kepercayaan rakyat sangat mempengaruhi pola pikir orang Jawa Barat. Selain Anjani, Radin Asmawati, istri Hamli pun juga mengalami hal yang sama, yakni merasa bahwa jodohnya bukan orang-orang yang senegeri dengannya. Apabila Anjani memercayai ahli nujum, Din Wati memercayai tukang tenung.
“Syukurlah! Jawab Din Wati, yang mulai percaya akan tenungan Mpok Nur ini” (MJ:108)
Selain percaya pada tukang tenung, Din Wati juga memercayai wasiat/ramalan Ajengan Kiai Naidan. Ia adalah guru ayahnya, Radin Jaya Kesuma. Ia dibawa ayahnya ke tempat kiai tersebut atas permintaan kiai. Saat itu ia baru berusia sepuluh tahun. Di sanalah ia mendapatkan ramalan sekaligus wasiat tentang perjodohannya.
“Ketahuilah oleh Radin, bahwa anak Radin inilah kelak yang akan menjadi ibu saya di kemudian hari, dalam kehidupan saya yang akan datang. Setelah datang jodohnya dari seberang, seorang laki-laki yang baik budi pekertinya, dia akan beranakan saya.” (MJ:107)

Ramalan itulah yang selalu Radin Asmawati pegang teguh. Ia hanya akan menikah dengan laki-laki alim, baik budi pekertinya. Ia akan melahirkan seorang kiai, sudah semestinya suaminya kelak adalah orang alim pula. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
“Baiklah! Jika demikian, kecantikan saya untuk orang alim; karena itulah rupanya yang akan menjadi jodoh saya. Kemuliaan akhirat lebih daripada kejayaan dunia.” (MJ:105)

Hal-hal di atas tentu bertentangan dengan firman Tuhan yang mengatakan kalau Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang berusaha untuk mengubahnya. Nasib, jodoh, rezeki semuanya sudah diatur oleh Tuhan. Tuhan pun tidak senang melihat umatnya hanya berpasrah menerima ketetapan-Nya. Mengenai mimpi, tenung, dan ramalan, belum tentu itu merupakan tanda-tanda yang Tuhan berikan kepada umatnya perihal ketetapnnya yang bersifat ghaib.
Sebagai seorang muslim, tidak sepantasnya Hamli berputus asa seperti itu. Yang pertama harus dilakukan seorang muslim untuk menerima takdirnya adalah dengan usaha dan ikhtiar. Setelah semuanya dilaksanakan, barulah semua urusan diserahkan pada Nya. Seperti kutipan terjemahan berikut.
“Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan “ (Luqman / QS. 31:22).
            Selain tenung, nujum, dan ramalan sebagai bentuk kepasrahan menerima takdir Tuhan, guna-guna juga merupakan salah satu bentuk yang dipercayai sebagai penyebab terwujudnya takdir. Hal ini diketahui dari tuturan Patih Anggawinata saat mengetahui perjodohan kemenakannya, Radin Asmawati dengan Hamli.
“Ananda, Mamanda khawatir, kalau ananda telah terkena guna-guna orang. Orang seberang masyhur kepandaiannya tentang ilmu muda dan guna-guna.” (MJ:196)         
           
            Dari beberapa uraian di atas dapat diketahui bagaimana pandangan orang-orang padang dan Jawa Barat dalam memaknai takdir. Mereka cenderung memaknai takdir sebagai ketetapan Tuhan dan dikirimkan melalui mimpi, hasil tenungan, nujum, atau ramalan kiai. Nyata-nyata perbuatan mereka tidaklah berkesesuaian dengan ajaran agama yang mereka anut. Marah Rusli selaku pengarang, secara tegas meyakinkan pembaca akan kebenarannya. Bahkan, cara-cara seperti niat bunuh diri Radin Asmawati dalam upaya pemenuhan takdir jodohnya untuk hidup bersama Hamli, dihadirkan pengarang untuk memperkuatnya.
“Jika ananda tak diizinkan kawin dengan Hamli, biarlah ananda mati bersama-sama dengan dia, karena dia pun tak mau hidup lagi di atas dunia ini jika tidak bersama-sama ananda. (MJ:197).

Kutipan tersebut merupakan tuturan Radin Asmawati saat ia tidak diizinkan Mamanda Patih Anggawinata untk menikah dengan Hamli. Radin Asmawati sudah begitu yakin akan tenungan Mpok Nur, melalui kartu-kartunya, bahwa jodohnya sudah dekat. Berulang kali ia mengocok kartu tersebut, bergantian dengan Radin Asmaya, bibinya, dan Mpok Nur. Hasilnya tetap sama. Kartu ikan dan air selalu muncul berdekatan. Ini merupakan pertanda bahwa jodohnya memang sudah dekat, dan laki-laki itu adalah Hamli.
Selain hasil tenungan tersebut, Radin Asmawati sangat terpengaruh wasiat/ramalan dari kiai Naidan, guru ayahnya. Hamli berasal dari seberang, berbudi baik, meskipun baru berstatus siswa. Cerita mengenai ibu Hamli, Anjani, mengenai mimpinya dihadiahi seekor burung Nuri dari Jawa, semakin memantapkan hati Radin Asmawati untuk menikah dengan Hamli. Ia dan Hamli memang jodoh. Semua sudah dikabarkan melalui mimpi ibu Hamli, dan tenungan Mpok Nur, serta ramalan kiai Naidan. Ia meyakini itu semua, sehingga mati pun ia pilih daripada tidak jadi berjodoh dengan Hamli.
Dalam pandangan Islam, perbuatan Radin Asmawati bukanlah suatu perbuatan yang sepatutnya. Perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan. Orangtua mana pun akan memenuhi permintaan anaknya apabila si anak mengancam untuk bunuh diri. Apalagi, Ratu Maimunah dan Radin Jaya Kesuma, orangtua Radin Asmawati. Mereka tidak ingin anaknya bunuh diri. Selain itu, ia juga sudah terpengaruh ramalan kiai Naidan, guru suaminya.
“Jangan ada niat hendak bunuh diri karena itu adalah suatu kesesatan dan dosa besar. Kawinlah dengan Hamli” (MJ:200)
“Rupanya Radin Jaya Kesuma memang masih ingat akan sekalian amanat gurunya. Tidaklah dia sak wasangka lagi.”  (MJ:202)

Dari dua kutipan di atas diketahui begitu kuatnya pengaruh mimpi, tenungan, nujum, dan ramalan terhadap pola pikir sesorang. Demi mengikuti itu semua, seseorang dengan mudahnya “menyalahkan” Tuhan sebagai bentuk penerimaan akan kebenaran perilakunya. Di pertengahan novel ini, pengarang mewujudkan semua hasil tenungan, mimpi, nujum, dan ramalan dari kedua kultur ini (Padang dan Jawa Barat), yakni dengan menikahkan Hamli dengan Radin Asmawati. Dengan begitu, pengarang semakin “memenangkan” cara-cara tersebut sebagai suatu tanda dari Tuhan untuk memberitahu makhluknya tentang takdir.
Selain pandangan bahwa jodoh merupakan takdir Tuhan, dalam novel ini, pengarang juga memberikan pemahaman lain terhadap usaha untuk “menciptakan “ takdir baru, guna menandingi takdir Tuhan. Hal ini diketahui melalui perbuatan tokoh-tokoh lain yang berusaha menentang takdir Tuhan dan jodoh ada di tangan mereka. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan oleh pihak-pihak keluarga kedua mempelai.
Keluarga Radin Asmawati (Mamandanya, Radin Wangsadipura dan Radin Wiradinata) tidak menginginkan kemenakannya, Radin Asmawati menikah dengan Hamli. Ia ingin Radin Asmawati menikah dengan kemenakan istri Radin Anggawansa. Inilah takdir untuk Radin Asmawati yang dirancang oleh mereka. Untuk memenuhinya, memenuh Hamli secara langsung, atau menggunakan racun, akan mereka lakukan.
“Saya bawa Hamli ini berjalan-berjalan ke pinggir sungai Cisadane, kemudian saya jerumuskan ke dalam air; jika perlu sesudah kepalanya kena pukulan” (MJ:207)
Racun masih ada, yang lebih halus jalannya daripada jatuh terjerumus ke dalam sungai.” (MJ:210)
Tidak hanya Hamli, bahkan kemenakan mereka sendiri, Radin Asmawati akan dibunuh kalau tidak mau menuruti “takdir” yang telah mereka tetapkan. Mereka menganggap apabila ia tetap menikah dengan orang di luar sukunya, hal itu akan member malu. Lebih baik Radin Asmawati dibunuh saja.
Siapa pun yang hendak mencemarkan nama baik kita, harus kita binasakan, biar pun kaum keluarga kita sendiri.” (MJ:209)
           
Lain halnya dengan keluarga Hamli di Padang. Penolakan terhadap pernikahan Hamli dengan perempuan yang bukan berbangsa Minangkabau, dianggap sebagai suatu aib. Sudah sepatutnya ia menikah dengan anak mamaknya di Solok. Selain mengikuti adat, pernikahan tersebut merupakan pernikahan balas budi atas biaya yang dikeluarkan mamak Hamli untuk menyekolahkan Hamli. Mamak Hamli, Baginda Raja, melakukan berbagai cara untuk memenuhi takdir yang ia “ciptakan” sendiri. Bahkan, ia tega memutuskan hubungan persaudaraannya dengan ibunda Hamli, dan mengusirnya dari rumah yang ia tempati. Selain itu, ia juga meminta Hamli untuk mengganti semua biaya yang telah ia keluarkan untuk menyekolahkan Hamli.
Jika tidak diturutinya perkataan saya ini, maka putuslah saya berkemenakan dengan dia, dan putuslah saya bersaudarakan ibunya dan beribukan neneknya!”(MJ:251)
“Hamli harus mengembalikan sekalian biaya yang telah saya keluarkan untuk dirinya.” (MJ:251)
Dihadapkan pada hal tersebut, tentu seseorang akan mengalami goncangan kejiwaan. Akhirnya, Anjani, ibunya Hamli, hanya bias menangis dan meratapi hidupnya. Bukan dia yang menikahkan Hamli dengan perempuan lain, tetapi ia yang harus menanggung akibatnya. Ia hanya bias pasrah mengikuti perkataan Sulaiman, anggota keluarganya yang lain.
“Oleh sebab itu, marilah kita terima takdir ini dengan sabar dan tawakal pada yang mahakuasa.”

PENUTUP
Dari beberapa uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa takdir daam pandangan sebagian orang Padang dan jawa Barat adalah sesuatu yang merupakan ketetapan Tuhan. Sebagai makhluk, manusia hanya bisa berserah diri. Tuhan memberikan gambaran takdir melalui mimpi, tenung, nujum, dan ramalan. Celakanya, sebagian mereka masih mempercayai hal tersebut. Jelas-jelas perbuatan itu melanggar ajaran agama.
Akan tetapi, sebagian lain beranggapan bahwa takdir itu masih dapat diciptakan oleh manusia. Berbagai cara pun dilakukan dengan tidak memandang apakah perbuatan itu benar atau tidak. Membunuh, meracuni, bahkan memutuskan tali persaudaraan yang merupakan fitrah pemberian Tuhan, tega dilakukan agar takdir “ciptaan” mereka sendiri dapat terlaksana.    
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Danandjaya. 1991. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi IV. Jakarta: Gramedia.
Mujiyanto, Yant dan Amir Fuady. 2007. Sejarah Sastra Indonesia (Prosa dan Puisi). Surakarta: LPP dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS.

Rusli, Marah. 2013. Memang Jodoh. Jakarta: Qanita.

0 komentar:

Posting Komentar