Pages

Kamis, 07 November 2013

Najmah Sayuti, MA, Mphil



BATAGAK SURAU: Mungkinkah?[1]

Tulisan ini terinspirasi dari makalah DR. Mestika Zed Masalah-masalah Teoritis dan  Metodologis dalam Kajian Sejarah Agama yang disampaikan pada diskusi Rabuan Dosen Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang tanggal 15 Mei 2013. 
Berangkat dari pembacaannya terhadap buku Heart and Minds: Can we write Religious History from Traces? (Michel Vivol, 1990), kajian Agama Islam, menurut Mestika Zed, di samping harus menetapkan entitas ajaran Islam sebagai patokan, ia bisa masuk ke seluruh bidang kehidupan.  Dalam bidang sain, misalnya tentang kloning atau pencangkokan organ tubuh, apa dan bagaimana pendapat para ulama atau umat Islam tentang kasus ini. Lalu tentang kesejajaran Islam dengan kebijakan atau program suatu rejim pemerintahan, bagaimana misalnya ulama dan umat Islam merespon program KB, dst.  Terkait dengan ini, bukti-bukti sejarah tidak melulu berupa teks (dokumen) atau kepustakaan.  Melainkan juga berupa symbol-simbol (ikonografi) dan gesture (bahasa tubuh) serta bahasa sehari-hari (kajian sejarah agama dari sudut penggunaan bahasa).   Misalnya dahulu, masyarakat Minangkabau terbiasa mengunakan kata surau untuk merujuk kepada institusi pendidikan dan pengajaran agama Islam. Namun lambat laun kata ini hilang dalam penggunaan dan diganti dengan kata pesantren.  Bagi Mestika Zed, ini bukan gejala sederhana.  Ini berkaitan dengan banyak faktor.  Misalnya terkait politik anggaran untuk Jawanisasi dan seterusnya serta tidak  adanya mata anggaran Kemenag RI untuk bantuan surau dan yang ada hanya bantuan untuk pesantren.  Maka ramai-ramailah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat menggunakan kata pesantren. 

Alasan lainnya mungkin karena adanya anggapan sebagian masyarakat bahwa kata pesantren mengandung makna yang sama atau bersinonim dengan kata surau.  Sebagian lagi bahkan menganggap pesantren memiliki makna lebih luas cakupannya sehingga penggunaan kata pesantren dianggap lebih cocok terutama jika digunakan dalam politik anggaran dan prospek pengembangan institusi pendidikan.  Ada juga kelompok masyarakat yang hanya latah menggunakan kata pesantren karena di sana-sini ditemukan pesantren sehingga kelihatannya keren dan bergengsi ber-pesantren ria tanpa memahami makna sebenarnya. 
Sementara itu kalau disebut kata surau, dalam pemahaman masyarakat kita yang tergambar adalah tempat melakukan aktivitas keagamaan, terutama shalat berjamaah lima waktu dan belajar mengaji bagi anak-anak dan remaja, yang ukurannya lebih kecil dibandingkan Mesjid dan biasanya tidak dipergunakan untuk melakukan ibadah shalat Jum’at.  Pertanyaannya sekarang adalah apakah memang sesederhana itu maknanya sehingga membuat surau  dengan mudah terpinggirkan oleh pesantren?  Apalagi jika dikaitkan dengan kesejarahannya.  Kalau memang demikian, wajarlah surau menjadi marginal, ditinggalkan dan akhirnya runtuh.

A. Napak Tilas Makna dan Kedudukan Surau di Minangkabau
Istilah surau sudah dikenal di Minangkabau jauh sebelum kedatangan Islam.[2]  Pada mulanya, surau dipahami sebagai bangunan kecil di puncak bukit atau di tempat yang lebih tinggi dibandingkan bangunan di sekitarnya yang  berfungsi sebagai tempat penyembahan arwah nenek moyang. Dalam sejarah Minangkabau, diduga bahwa surau pertama kali didirikan pada masa Raja Adityawarman pada tahun 1356 di kawasan Bukit Gombak, Tanah Datar.  Selain berfungsi sebagai tempat berkumpul anak-anak muda mempelajari berbagai ilmu pengetahuan serta keterampilan, surau juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para lelaki dewasa.  Hal ini serupa dengan pendapat A.A. Navis yang menambahkan bahwa menurut ketentuan adat Minangkabau, laki-laki dewasa tidak patut dan memalukan jika masih tidur di rumah orang tua mereka atau isteri yang sudah diceraikan.[3]  Pandangan ini dikuatkan dengan kenyataan yang berlaku dalam budaya matrilineal Minangkabau bahwa di  Rumah Gadang tidak ada kamar tidur untuk anak-laki-laki yang sudah beranjak remaja atau laki-laki dewasa yang tidak menikah.  Karenanya tidak ada pilihan lain selain tidur di surau dari pada menerima ejekan “Alah gadang masih manyusu ka induak.”
Seiring dengan kedatangan Islam ke wilayah Minangkabau yang membawa nuansa baru dalam kehidupan keberagamaan masyarakat, kedudukan surau juga mengalami perubahan.   Fungsi surau sebagai pusat kegiatan keagamaan menjadi semakin kuat, karena di samping dipakai  sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu keduniawian dan keterampilan,  surau lantas juga berfungsi sebagai tempat beribadah danpengajaran ilmu-ilmu keislaman sekaligus menjadi pusat kegiatan sosial budaya. [4]
Namun demikian, meski telah mengalami proses islamisasi, sisa-sisa kepercayaan lama masih dapat dilihat pada arsitektur surau yang tetap mempertahankan atap gonjong (yang berbentuk lancip seperti tanduk kerbau) yang dapat dimaknai sebagai kepercayaan mistis sekaligus simbol adat.
Dalam perkembangan selanjutnya fungsi surau di Minangkabau menjadi lebih menyerupai pesantren.[5]  Begitu juga pada arsitekturnya, mulai diperkenalkan gaya arsitektur Timur Tengah, Andalus dan India.  Perkembangan ini berawal dengan berdirinya surau Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman, pada abad ke-17 sekembalinya dia dari belajar agama dari Syekh Abdul Rauf Singkel, seorang ulama besar Aceh. 
Pada umumnya, surau pesantren di Minangkabau dimiliki dan dikelola oleh keluarga syekh (ulama) secara turun temurun. Surau-surau pesantren biasanya terdiri dari beberapa bangunan.  Bahkan sebuah surau besar dapat mencapai lebih dari dua puluh buah bangunan. Ada bangunan utama, bangunan untuk tamu, tempat suluk (kegiatan tariqat), tempat tinggal para murid serta tempat tinggal syekh. Adapun penyelenggaraan pendidikan di surau-surau Minangkabau pada awalnya memakai sistem halaqah dengan pembagian kelompok murid berdasarkan kelompok ilmu yang dipelajari.  Pengelompokan ini juga sekaligus mengisyaratkan tingkatan kemampuan murid.  Seorang murid yang belum menamatkan pelajaran tentang huruf hijaiyah dan bacaan beberapa surat pendek (biasa disebut Qur’an Kecil), misalnya, belum dibenarkan untuk pindah ke kelompok yang mengaji mushaf (Qur’an Besar).  Sedangkan metode pengajaran yang dipakai adalah ceramah, pembacaan dan hafalan yang biasanya dilakukan secara melingkar sekitar guru.  Selain pengajaran secara halaqah, pengajaran dan pendidikan di surau biasanya juga memakai sistem asistensi; dalam makna bahwa syekh tidak langsung mengajari semua semua kelompok secara langsung tetapi dibantu oleh beberapa guru dan guru-guru ini biasanya ditunjuk dari murid-murid yang sudah senior dan atau dianggap mampu.  Setelah semua murid yunior selesai mengaji maka giliran murid-murid senior mengaji langsung dengan syekh.  Selain itu ada juga  surau-surau yang khusus mengajarkan ilmu-ilmu tertentu saja, seperti Bahasa Arab, ilmu fiqh, ilmu mantiq dan sebagainya. 
Semenjak pemerintah Belanda mendirikan sekolah di kota-kota yang merupakan benteng-benteng pada pertengahan abad 19, peranan surau sebagai lembaga pendidikan mulai disaingi.  Apalagi ketika pada dasawarsa kedua abad ke-20, sekelompok Muslim modernis mulai memperkenalkan sistem pendidikan klasikal ala Belanda berbentuk madrasah sampai ke pelosok-pelosok wilayah Minangkabau, popularitas surau di kalangan masyarakat Minangkabau menjadi semakin menurun.   Ditambah lagi setelah kemerdekaan lembaga pendidikan Islam di Indonesia diharuskan tunduk kepada aturan pemerintah membuat eksistensi surau di Minangkabau bertambah surut.[6]  Hanya surau-surau dengan sistem pesantren saja yang masih bertahan. 

B. Madrasah
   Pendirian madrasah di Minangkabau dipelopori oleh Syekh Abdullah Ahmad, sekembalinya beliau dari Mekkah, dengan mendirikan madrasah HIS Adabiah pada tanggal 23 Agustus 1915 di Kota Padang.  Pendirian madrasah ini merupakan reaksi atas sekolah HIS Belanda yang hanya diperuntukan bagi para bangsawan dan pegawai Belanda.  Pendirian madrasah ini juga dianggap sebagai babak baru bagi pendidikan Islam di Minangkabau.  Sebagai tonggak transisi dari sistem halaqah ke sistem klasikal.
Perbedaan mendasar pada kedua sistem ini terlihat pada sistem pembelajaran yang tidak lagi memakai sistem asistensi.  Tetapi masing-masing bidang diajarkan oleh seorang pengajar yang memiliki keahlian khusus di bidang tersebut.  Selain itu tempat belajar tidak lagi di ruang yang sama tetapi di ruang yang berbeda-beda.  Perbedaan ruang ini sekaligus menunjukkan tingkatan kelas murid.  Begitu juga dalam biadang kurikulum.  Sekolah madrasah menambahkan pengetahuan umum (non-keagamaan) ke dalam kurikulumnya.  Selain itu Syekh Abdullah Ahmad juga memungut biaya pendidikan dari para murid yang nantinya dialokasikan untuk gaji guru dan biaya proses belajar mengajar termasuk biaya pembangunan gedung sekolah.
Hal ini tentu berbeda sekali dengan pendidikan surau.  Pada pendidikan surau, murid-murid tidak dipungut biaya apapun.  Bahkan bagi murid-murid yang berasal dari luar daerah, biaya hidup mereka dapat dari infaq, zakat dan sedekah masyarakat yang biasanya mereka kumpulkan pada setiap pagi Hari Jum’at atau sore Hari Kamis dengan cara mendatangi rumah-rumah penduduk seraya membawa buntil, karung kain sebesar karung terigu.  Begitu juga guru-guru pada pendidikan surau tidak menerima upah atau gaji, termasuk syekhnya.  Para Syekh  biasanya memiliki sumber penghasilan dari usaha keluarga atau hasil pertanian, selain dari pemberian orang tua wali murid secara sukarela.  Begitu juga pembangunan gedung pada system surau, biasanya merupakan hasil kerja gotong royong masyarakat sekitar surau.
Terjadinya perubahan ini, menurut Azyumardi Azra, adalah imbas dari kolonialisme Belanda yang memperkenalkan system kapitalis pada perekonomian masyarakat.  Perubahan ini merubah watak dasar orang siak dan surau.  Pada masa kejayaan surau, orang siak belajar agama dari satu surau  ke surau yang lain tanpa pusing memikirkan biaya, sekarang pada madrasah modern harus dengan biaya pribadi dan atau keluarga.  Perubahan ini juga berdampak terhadap hubungan orang siak dengan masyarakat.  Pada masa surau, orang siak dan masyarakat memiliki keterikatan yang cukup kuat karena masyarakat bagi orang siak adalah penopang kebutuhan keseharian selama belajar di surau.  Sebaliknya, masyarakat membutuhkan orang siak untuk membantu mereka dalam prosesi-prosesi keagamaan sekaligus tempat menyalurkan zakat, infaq dan sedekahnya
Begitu juga dengan masalah tempat tinggal.  Pada budaya surau, para murid (orang siak) tinggal di surau tanpa dipungut biaya; sementara pada system madrasah murid-murid tinggal di asrama dengan membayar sejumlah uang asrama atau menyewa tempat tinggal di rumah penduduk sekitar madrasah atau di rumah orang tuannya bagi yang berdomisli dekat dengan lokasi madrasah.  Perubahan ini berdampak pada hilangnya budaya tidur di surau bersamaan dengan lunturnya malu dan tabu tidur di rumah orang tua bagi remaja putra dan laki-laki dewasa.  Apalagi ketika Rumah Gadang yang biasanya dihuni oleh beberapa kerabat keluarga mulai ditinggalkan, dan kecenderungan keluarga baru untuk tinggal terpisah dari keluarga induk dan membangun rumah sendiri, memberi ruang bagi remaja putra dan laki-laki dewasa untuk tidur di rumah.
Pada akhirnya, keterputusan jalinan hubungan mutual orang siak-masyarakat berakibat kepada menurunnya popularitas surau di tengah-tengah masyarakat.  Kecuali surau-surau yang berani melangkah menerima perubahan dan bersimbiosis dengan kurikulum baru.

C. Pesantren
Berbeda dengan madrasah yang tidak mewajibkan murid atau siswa tinggal di lingkungan sekolah, maka lembaga pendidikan pesantren sekarang mewajibkan siswanya untuk tinggal di asrama yang sudah disediakan.  Dengan kalimat lain dapat dijelaskan bahwa pesantren adalah institusi pendidikan di mana para santri tinggal dan belajar bersama di bawah bimbingan guru yang biasa dipanggil Kiai dan atau ustazd.  Pesantren merupakan sebuah kompleks yang memiliki masjid sebagai tempat beribadah dan kegiatan keagamaan lainnya, ruang-ruang belajar yang dilengkapi fasilitas pendidikan baik intra maupun ekstrakurikuler seperti perpustakaan, laboratorium, tempat berolah raga dll.  Kompleks ini biasanya dikelilingi tembok atau pagar tinggi agar dapat mengawasi keluar masuk para santri sesuai peraturan yang berlaku.  Secara sederhana dapat juga dikatakan bahwa pesantren adalah madrasah berasrama.
Kalau kita lihat sejarahnya, institusi pesantren sudah berkembang di Pulau Jawa selama berabad-abad.  Ada yang mengatakan bahwa pesantren merupakan warisan budaya Hindu yang—sama halnya dengan surau di Minangkabau—mengalami proses islamisasi.  Mungkin dulu pesantren lebih dikenal dengan sebutan padepokan karena para kiyai mengajar para santrinya di pendopo masjid atau rumah yang biasanya dilakukan di malam hari setelah selesai membantu orang tua atau pekerjaan di siang hari.  Maulana Malik Ibrahim (w. 1419), salah seorang Walisongo, dipandang sebagai founding father bagi kehidupan pesantren dalam masyarakat Jawa.  Namun ada juga yang berpendapat bahwa padepokan Sunan Ampel-lah yang menjadi cikal-bakal pesantren di Indonesia yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah Nusantara melalui tangan para murid beliau yang berasal dari berbagai daerah bahkan dari luar Jawa.  Namun Howard M. Federspield, seperti dikutip Irfan Hielmy, mencatat bahwa pada abad ke-12, di Aceh, Jawa dan Gowa, Sulawesi, telah dijumpai pusat-pusat kajian dan keilmuan yang menghasilkan karya-karya bermutu yang menarik minat para pencari ilmu atau santri untuk datang,[7] belajar dan bermukim sehingga bisa jadi pesantren di Indonesia sudah ada semenjak satu atau dua abad sebelumnya.  Hanya saja  pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan yang mulai terlembaga baru muncul pada pertengahan abad ke-18 dengan berdirinya pesantren Tegalsari Panaraga pada tahun 1742; dan terus berkembang menjadi sebuah lembaga pendidikan yang rapi sepanjang abad ke-19 s/d sekarang.[8]
Jika ditinjau dari sudut etimology, ada banyak pendapat tentang makna pesantren.  Di antaranya ada yang berpendapat bahwa kata pesantren berasal dari pe-santri-an yang berarti tempat santri.  Sedangkan menurut Zamakhsyari Dhofier kata santri berasal dari ikatan kata sant (manusia baik) dan tri (suka menolong); sehingga santri berarti manusia baik yang suka menolong, sehingga kata pesantren dapat dimaknai sebagai tempat pendidikan manusia baik-baik.[9]   Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa santri dalam bahasa Tamil berarti guru mengaji.
Pendapat berbeda datang dari Clifford Geertz yang mengatakan bahwa santri berasal dari bahasa Sanskerta shastri yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis dan kaum terpelajar atau melek huruf.  Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Jawa cantrik yang berarti ‘seseorang yang mengikuti gurunya kemana pun dia pergi dan menetap.’  Pendapat ini didukung Nurcholis Madjid dengan mengatakan bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia.[10]
Dahulu pesantren dijadikan sebagai pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.  Namun dalam perkembangannya, lembaga ini memperluas wilayah kajiannya dengan menambahkan unsur-unsur ilmu umum, seperti ilmu eksakta dan ilmu sosial, ke dalam kurikulumnya.  Sehingga makin banyak kita temukan pesantren yang bukan lagi sekedar lembaga pendidikan berorientasi keagamaan, tetapi juga lembaga yang ikut merespon persoalan-persoalan masyarakat di sekitarnya.[11]  Hal ini berikutnya memunculkan istilah pesantren salaf bagi jenis pertama dan pesantren modern untuk yang kedua.[12]
Terlepas dari kategori salaf atau modern, kualitas sebuah pesantren sangat ditentukan kyai-nya sebagai tokoh sentral dalam dunia kepesantrenan.  Karena kyai, bagi sebuah pesantren, adalah suri tauladan sekaligus penentu kebijaksanaan.  Kyai memiliki andil yang sangat besar dalam penanganan iman, amal, ilmu, akhlak dan pemecahan berbagai persoalan santri dan masyarakat.  Dengan kata lain, pemikiran kyai berpengaruh sangat besar terhadap pembentukan pola pikir, sikap, jiwa dan orientasi kepemimpinan santri dan masyarakat sekitar.[13]
Demikian besarnya pengaruh seorang kyai bahkan kadang-kadang menjurus  kepada pengkultusan Sang Kyai termasuk keluarganya.  Sehingga acapkali ditemukan dalam masyarakat Jawa, benar tidaknya sebuah persoalan tidak didasarkan kepada dalil agama tapi lebih kepada apa yang dikatakan kyai.  Fenomena ini lantas memunculkan istilah kiyai, santri dan abangan sebagai hasil penelitian Cliffort Geertz terhadap kehidupan keberagamaan dalam masyarakat Jawa pada dekade 60-an.[14]
Pesantren menjadi popular terutama setelah adanya kebijakan anggaran pada Departemen Agama Repulik Indonesia (sekarang Kementrian Agama Repulik Indonesia) yang mencantumkan madrasah dan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan formal yang menerima bantuan dana dan pembinaan.  Kondisi ini membuat pamor surau di Minangkabau makin terpuruk.  Tinggallah surau sekarang menjadi tempat peribadatan dan belajar mengaji anak-anak dan remaja, dan sekali-sekali tempat mengadakan peringatan Hari-hari Besar Islam seperti acara Maulid Nabi Saw, Isra’ Mikraj dan Shalat Id.
Selain itu, mungkin yang membuat lembaga pendidikan pesantren menjadi lebih disukai baik oleh siswa maupun orang tua adalah keinklusifannya.  Semua fasilitas ada di situ tanpa harus capek-capek kemana-mana.  Bagi siswa adalah menyenangkan pergi ke sekolah tanpa harus terburu-buru mengejar waktu dan berebut kendaraan.  Apalagi jika sarana pendidikannya lengkap termasuk sarana olah raga dan kegiatan ekskul lain.  Begitu juga dengan tinggal di asrama mereka bergaul dengan teman sebaya yang memiliki kemiripan bakat dan minat sehingga membuat pertemanan menjadi lebih menyenangkan. 
Sementara bagi orang tua, anak sekolah di pesantren kadang lebih memberi rasa aman.  Apalagi dengan kemajuan teknologi yang demikian pesat, anak-anak remaja yang dalam proses mencari jati diri menjadi sangat rentan terimbas efek negative globalisasi.  Dengan tinggalnya mereka di asrama, efek negative ini bisa diredam atau paling tidak berkurang.  Terutama bagi orang tua yang sibuk membuat waktu untuk mengontrol anak-anaknya menjadi terbatas.  Tentu saja sekolah di pesantren merupakan pilihan terbaik bagi putra-putri mereka.  Terutama ketika pesantren mampu membuktikan kualitas mereka sebagai lembaga pendidikan berkualitas yang mampu bersaing dan bahkan mengungguli lembaga pendidikan umum, maka pesantren adalah pilihan yang harus.
Namun di balik semua kelebihannya, tetap ada yang hilang dari pesantren yaitu ketersambungannya dengan masyarakat, seperti yang ada pada surau.  Pada hal masa remaja adalah juga masa-masa membangun rasa empati terhadap masyarakat sekitar dengan melihat langsung kehidupan masyarakat seperti yang dilakukan para siak surau.   Sehingga tidak jarang kita temukan alumni pesantren yang lulus dengan predikat terbaik namun gamang ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan masyarakat.  Atau ada juga lulusan pesantren yang sekolah di sana karena terpaksa, begitu keluar dari pesantren seperti kuda lepas dari kandang, menyepak kesana kemari sehingga merusak nama baik lembaga dan keluarga.

D. Penutup
Kalau kita mengartikan batagak surau sebagai membangun kembali bangunan surau, maka hal itu tidak akan sulit dilakukan karena hanya menyangkut hal-hal yang bersifat material.  Namun jika artikan sebagai ‘menghidupkan kembali budaya kehidupan surau,’ maka jawabannya akan sulit tergantung surau semacam apa yang ingin dibangun.  Kalau surau dimaksud adalah tempat belajar beragam ilmu dan keterampilan termasuk ilmu beladiri dan belajar hidup, tentu ini bisa dilakukan dengan penambahan fungsi surau-surau yang ada sekarang.  Tetapi jika termasuk budaya tidur di surau, mungkin akan sangat sulit jika tidak ingin menyebutnya mustahil.  Merubah kebiasaan tidak semudah membalik telapak tangan.  Apalagi di daerah perkotaan yang penduduknya majemuk; tidak seperti masa surau dulu yang biasanya dibangun oleh satu kaum untuk anak-anak mudanya.  Tetua surau pun biasanya mengenal dengan baik anak siapa, di mana rumahnya dan bagaimana kesehariannya.  Untuk tingkat nagari mungkin budaya ini bisa kita dimasyarakatkan kembali.
Pencanangan Gebu Minang di awal tahun 2000-an bisa kita pandang sebagai bentuk usaha putra-putra Minang perantau untuk “manguak batang tarandam.”  Namun belakangan ini dengung Gebu Minang makin tidak terdengar gaungnya.  Apakah ini pertanda keputus- asaan atau masa hibernasi untuk bangun kembali?  Begitu juga dengan sosialisasi program pemerintah provinsi Sumatera Barat Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullahi (ABS-SBK) merupakan upaya untuk kembali menghidupkan surau di Minangkabau?  Lalu kenapa kegiatan keagamaan tahunan Pemda Kota Padang selama bulan Ramadhan dinamakan Pesantren Ramadhan.  Kenapa tidak Surau Ramadhan agar lebih mempertegas niat untuk menghidupkan kembali surau.  Apakah lagi-lagi ini terkait politik anggaran atau yang lainnya? Apalagi jika diperhatikan kegiatan yang dilaksanakan tidak lebih dari kegiatan-kegiatan yang selama ini biasa dilakukan di surau dan sama sekali jauh dari kegiatan pesantren.  Wallahu a‘lam bishshawaab



[1] Yang dimaksud  Batagak Surau dalam tulisan ini  bukan sekedar membangun sebuah surau tetapi juga bermakna ‘menghidupkan kembali budaya kehidupan surau.  Ditulis oleh Najmah Sayuti, MA, MPhil, tenaga pengajar pada Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat, Indonesia sebagai prosiding Temu Karya Sastra Islam Melayu yang dilaksanakan di Padang pada tanggal 8-10 November 2013.
[1] Cristine Dobbin, Islam Revivalism In Minangkabau At The Turn Of The 19th Century (Cambridge University Press, 1971) hal. 120.
[1] Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, terjemahan Lilian D. Tedjakusuma (Jakarta: INIS, 1992), hal. 142
[1]Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, terjemahan Lilian D. Tedjakusuma (Jakarta: INIS, 1992), hal. 142; Azyumardi Azra, (1985), Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat (Jakarta: PM3), hal. 156.
[1] Azyumardi Azra, Pemikiran Islam Tradisi dan Modernitas Menuju Milinium Baru. Ciputat: Logos, 1999.
[1]Azyumardi Azra, Ibid.
[1] Irfan Hielmy, Wacana Islam (Ciamis: Pusat Informasi Pesantren, 2000), hal. 120.
[1] Rohadi Abdul Falah, dkk. Rekonstruksi Pessantren Masa Depan, dari Tradisonal, Modern, hingga Post Modern (Jakarta: Listafariska, 2008), hal. 13.
[1] Ibid, hal. 11.
[1] Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 5.
[1] Mastuki dkk, Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal. 1.
[1] Amin Haedari, Transformasi Pesantren (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal. 3-4.
[1] Habib Chirzin,  Agama dan Ilmu dalam Pesantren (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1983), hal. 94.
[1] Untuk lebih jelas lihat Cliffort James Geertz, Religion of Java (Chicago: Chicago University Press, 1960) dan Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia (Chicago: Chicago University Press, 1968).

Referensi

Ajisman (ed.). Dinamika Kehidupan Surau Di Minangkabau. Padang: BKSNT, 2002.
Akhria Nazwar. Syekh Ahmad Khatib : Ilmuwan Islam di Permulaan Abad Ini. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Amin Haedari. Transformasi Pesantren. Jakarta: Media Nusantara.
Azyumardi Azra. "Surau di Tengah Kritris: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat" dalam M. Dawam Raharjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah. Jakarta: P3M, 1985.
-------. Pemikiran Islam Tradisi dan Modernitas Menuju Milinium Baru. Ciputat: Logos, 1999.
Dobbin, Cristine. Islam Revivalism In Minangkabau At The Turn Of The 19th Century. Cambridge University Press, 1971.
-------, Cristine. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847. Terjemahan Lilian D. Tedjakusuma. Jakarta: INIS, 1992
Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau, Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2003.
Edwar, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat. Padang Islamic Centre 1981.
Fatah dkk, Rekonstruksi Pesantren Masa Depan. Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2005.
Firdaus, dkk. Sentra-sentra Tarekat di Minangkabau, Laporan Penelitian. Padang: Pusat Penelitian IAIN IB, 2000
Geertz, Cliffort James. Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia. Chicago: Chicago University Press, 1968.
-------. Religion of Java. Chicago: Chicago University Press, 1960.
Hamka. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: pustaka panjimas, 1985.
Irfan Hielmy. Wacana Islam. Ciamis: Pusat Informasi Pesantren, 2000.
Kroeskamp. De Weskusten Minangkabau (1665-1668). Tp.t.p: Utrecht, 1931
Mahmud Yunus. Sedjarah Islam di Minangkabau. Jakarta: CV. Al-Hidayah, 1971
Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1985.
Maksum. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos, 1999.
Mas'oed Abidin. Surau Kito. Padang: PPIM, 2004.
Mastuki dkk, Intelektualisme Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka, 2006.
Nurcholis Madjid.  Bilik-bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina, 1997.
Schrieke, B.O.J Pergolakan Agama di Sumatera Barat:Sebuah Sumbangan Bibliografi. Terjemahan Soeganda Purbakawatja. Jakarta: Bhratara, 1973.
Steenbrink, Karel. A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1986.










[1] Yang dimaksud  Batagak Surau dalam tulisan ini  bukan sekedar membangun sebuah surau tetapi juga bermakna ‘menghidupkan kembali budaya kehidupan surau.  Ditulis oleh Najmah Sayuti, MA, MPhil, tenaga pengajar pada Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat, Indonesia sebagai prosiding Temu Karya Sastra Islam Melayu yang dilaksanakan di Padang pada tanggal 8-10 November 2013.
[2] Cristine Dobbin, Islam Revivalism In Minangkabau At The Turn Of The 19th Century (Cambridge University Press, 1971) hal. 120.
[3] Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, terjemahan Lilian D. Tedjakusuma (Jakarta: INIS, 1992), hal. 142
[4]Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, terjemahan Lilian D. Tedjakusuma (Jakarta: INIS, 1992), hal. 142; Azyumardi Azra, (1985), Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Masyarakat (Jakarta: PM3), hal. 156.
[5] Azyumardi Azra, Pemikiran Islam Tradisi dan Modernitas Menuju Milinium Baru. Ciputat: Logos, 1999.
[6]Azyumardi Azra, Ibid.
[7] Irfan Hielmy, Wacana Islam (Ciamis: Pusat Informasi Pesantren, 2000), hal. 120.
[8] Rohadi Abdul Falah, dkk. Rekonstruksi Pessantren Masa Depan, dari Tradisonal, Modern, hingga Post Modern (Jakarta: Listafariska, 2008), hal. 13.
[9] Ibid, hal. 11.
[10] Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren (Jakarta: Paramadina, 1997), hal. 5.
[11] Mastuki dkk, Intelektualisme Pesantren (Jakarta: Diva Pustaka, 2006), hal. 1.
[12] Amin Haedari, Transformasi Pesantren (Jakarta: Media Nusantara, 2007), hal. 3-4.
[13] Habib Chirzin,  Agama dan Ilmu dalam Pesantren (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1983), hal. 94.
[14] Untuk lebih jelas lihat Cliffort James Geertz, Religion of Java (Chicago: Chicago University Press, 1960) dan Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia (Chicago: Chicago University Press, 1968).

0 komentar:

Posting Komentar