Secara geografis, apa yang disebut Dunia Melayu itu merupakan sebuah kawasan yang luas dan tidak
mudah dijelaskan batas-batasnya. Namun secara budaya tidak sukar diberi batas. Dari
perspektif budaya melayu serumpun, dapat diberi batas kawasan inti melayu itu
pada 6 (enam) negara yakni yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam,
Singapura, sebagian Philipina dan Thailand.
Dilihat dari kesamaan
aspek Socio-cultural dan sistem religi (Islam) di samping tradisi
keilmuan (intelektual) yang berkembang dan dianut oleh masyarakat, Azyumardi
Azra (1999: 17), mencatat, negara-negara kawasan di samping 6 negara Asia
Tenggara tadi, dimasukan Vietnam, Kamboja dan sebagian
masyarakat Islam Afrika Selatan dan Bangladesh. Sementara Naquib al-Attas (1999: iii) memasukkan pula kawasan besar budaya Islam seperti Arab, Irak, Turki dan Afrika
Hitam. Artinya
melayu seperti yang ditulis Yulizal Yunus (2012:2) tidak dapat dipisahkan
dengan Islam, contoh kasus dalam budaya masyarakat Minang, terdapat komitmen Syara’
Mangato – Adat Mamakai (SM-AM) bagi pelaksanaan filosofi Adat Basandi
Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS - SBK), atau di Brunei ditunjukan
dalam filosofinya IMB (Islam Melayu Beraja).
Di sisi lain juga tak
sulit menentukan kawasan melayu, jika dilihat dari hasil-hasil kesusastraannya
(Abdul Hadi WM., 2012: 1). Kesusastraan dalam pemahamannya termasuk wacana
pendidikan terbaik, dan pemahaman ini dekat dengan pemahaman Arab “funun
al-adab al-ta’limiy” (teknik sastra didaktik). Justru kesusastraan mengikuti (A. Teeuw,
1994:251-252) merupakan pencapaian besar kebudayaan Melayu. Di dalam
kesusasteraan Melayu itu besar pengaruh Islam.
Khazanah sastra Melayu begitu
kaya dan naskah yang dijumpai melimpah. Isi naskah itu juga anekaragam.
Karya-karya yang termasuk ke dalam lingkup sastra Melayu itu meliputi
hikayat-hikayat teladan dan karya sastra lainnya, mulai dari kisah Nabi-nabi khususnya Nabi
Muhammad SAW, kisah mengenai para
sahabat Nabi, orang suci atau para wali, serta pahlawan-pahlawan awal dalam
sejarah Islam (Abdul Hadi WM., 2012: 2; Suryadi Sunuri, 2012: 6).
Demikian besarnya pengaruh
Islam terhadap kebudayaan dan kesusastraan Melayu pada Zaman Klasik sehingga
semua perkembangan kesusastraan pada masa berikutnya—yakni setelah masuknya
pengaruh Barat/ modern, pengaruh Tionghoa, dan ketika muncul kesadaran nasional
serta kebangkitan kembali kebudayaan asli/ lokal di tengah interaksi kebudayaan
global—selalu terkait dengan Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Walaupun demikian, setiap masa pengaruh tersebut tentu juga memiliki
karakteristiknya masing-masing.
Kita tidak bisa menyangkal
bahwa hubungan dengan dunia Eropa-Barat telah memberikan pengaruh yang besar
terhadap kesusastraan Melayu. Pengaruh yang paling menonjol dari hubungan ini
adalah meresapnya estetika modern yang antara lain memberikan otonomi yang
lebih luas terhadap karya sastra sebagai ekspresi kebahasaan yang bersifat
indiviual. Otonomi dan individualitas inilah yang kemudian menjadi pembeda
tegas antara kesusastraan Melayu modern dari kesusastraan “zaman lama” yang
fungsional dan kolektif.
Hubungan antara dunia Melayu
dengan dunia Barat berlangsung sejak pelayaran ekspedisi Ferdinand de
Magellhaens berhasil menemukan jalur laut ke Kepulauan. Rempah-rempah melalui
samudera Pasifik dan Vasco da Gama membuka jalur dagang ke Goa, India, yang
dilanjutkan lagi dengan ekspedisi-ekspedisi ke Kepulauan Melayu. Titik balik
terjadi ketika Alfonso D`Abulquerque menaklukkan Malaka pada 1511. Pada masa
goyahnya kekuatan ekonomi-politik Melayu ini, pusat kebudayaan dan kesusastraan
Melayu berpindah ke kerajaan-kerajaan Melayu lain, yakni Aceh, Johor,
Riau-Lingga, Banjarmasin, Kelantan, Patani dan lain-lain.
Maka tidak aneh jika
Braginsky (1998:1) menyatakan bahwa dasar tradisi kebudayaan Melayu adalah
sastra. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa kebudayaan Melayu tidak
menghasilkan pencapaian di bidang-bidang lain. “Dasar tradisi” sebagaimana yang
disebutkan oleh Braginsky sering dianggap baru ada semenjak abad ke-16. Ini
adalah tarikh tertua yang pernah diterakan pada manuskrip yang ditulis dengan
aksara Jawi dan menggunakan bahasa Melayu (Harun Mat Piah, 2002:26).
Artefak sastra yang
dihasilkan melalui sarana bahasa Melayu, aksara Jawi, kertas dan tinta sejak
abad ke-16 inilah yang oleh kajian keilmuan Barat-modern dianggap memenuhi
syarat sebagai objek formal dan material keilmuan. Tetapi pemahaman dengan
ukuran-ukuran Barat-modern seperti ini terbukti telah menyisihkan realitas
literer lain dalam kesusastraan Melayu, yakni hasil-hasil sastra yang tak
dituliskan dan berkembang sebagai sastra lisan rakyat. Sehingga, kesusastraan
Melayu sangat mungkin telah menjadi “dasar tradisi” kebudayaan Melayu jauh
sebelum abad ke-16.
Ketika wilayah-wilayah rumpun Melayu
(Nusantara) dikuasasi oleh negara-negara Barat (Inggris, Belanda, dan
Portugis), kejayaan dan kekuatan politik Melayu-Islam dan segenap tradisi
keilmuan serta socio-cultural mulai mengalami kemunduran. Satu demi satu
kesulthanan Islam yang ada di lingkungan Melayu Nusantara jatuh di bawah
kekuasaan penjajah. Bahkan akhir dari intervensi Barat menjadikan rumpun Melayu
terpecah kepada beberapa negara nasional, di mana antara satu sama lain telah
dibatasi oleh garis demarkasi yang tidak boleh dilanggar. Akibatnya spirit
ke-Melayu-an seakan-akan telah hilang. Pengalaman sejarah yang pahit ini secara
politis sangat merugikan bangsa-bangsa Melayu. Kekuatan bangsa Melayu yang pada
masa lalu terjalin kuat, kini pecah. Bahkan dalam “percaturan politik internasional, Melayu terpinggirkan”. Bahkan di antara sesama negara Melayu seumpun
rasa kemelayuan, tidak saja tergerus, tetapi sekali lagi telah lenyap dirasuki
pertikaian negara-negara Melayu serumpun.
Antara Indonesia dan
Malaysia saja misalnya pernah terjadi pertikaian yang tidak terselesaikan oleh
kesantunan diplomasi. Fenomena ini membuat, hubungan persudaraan tidak saja
retak tetapi cidera. Padahal pertikaian itu hanya dipicu kepentingan sesaat.
Tidak kecuali misalnya dalam aspek politik dan perlindungan bangsa dan tanah
tumpah (tanah air) pada kasus pulau Sempadan, soal Hambalat yang dilatari
kepentingan ekonomi segelitir komponen bangsa Melayu, persoalan TKI yang dipicu
kepemilikan dokumen imigrasi, produk kuliner dan kesenian dipicu pesoalan siapa
yang harus memegang hak-hak intelektualnya yang juga bernuansa ekonomi juga
dsb. Sama juga halnya dengan masa era reformasi di Indonesia 1998, ada
kekhawatiran negara-negara Melayu lainnya, terimbas kebebasan (demokrasi yang
kepablasan).
Persoalan seperti tadi
itu, sebenarnya tidak harus menciderai hubungan persaudaraan melayu bahkan
sistem kekerabatan antara warga yang duduk (tinggal) di dua negara itu.
Seharusnya, kalau saudara kita sukses di politik dan punya kekuatan ekonomi. justru
kita bangga. Tidak harus marah dan sakit hati merasa terambil haknya dsb. Kalau
dulu masa 1960-an bangsa ini yang hendak didominasi politisi komunis, pernah
dikumandangkan “ganyang Malaysia”, maka sekarang apa salahnya dibuat
arus balik, “sanang Malaysia”. Justru perjalanan qalbu saudara
Melayu ini seharusnya begitu, merasa senang saudaranya maju, seiring dengan
bangsa Melayu lainnya ingin maju.
Penguatan perjalanan qalbu
Melayu tadi dalam memperkuat ketahanan budaya dari ancaman berbagai
konflik, adalah memungkinkan mengedapankan sastra sebagai pendamai
dan atau sebagai safety valve (katup pengaman) konflik itu. Katup
pengaman itu diupayakan sebagai energi pendaman berbagai konflik sistem budaya
Melayu (terutama dalam sistem politik, sistem ekonomi, sistem kesenian
dsb). Artinya ingin mengajak bangsa Melayu bersastra, ketika didera berbagai
konflik. Justru sastra sudah merupakan akar budaya dan puncak supremasi
kebudayaan Melayu.
Tentang fenomena cidera
persaudaraan Melayu karena politik seperti tadi, dicatat pula temu sastrawan
internasional Indoensia – Malaysia di Pusat Dokumentasi HB Jassin di TMI
Jakarta Pusat 29 Agustus 2013 lalu. Justru fenomena politik itu satu di antara
faktor penyebab sastra melayu tidak muncul dan tidak memiliki daya saing meraih
penghargaan internasional seperti nobel sastra (Hasan Alwi, 2013). Namun para
sastrawan Malaysia – Indonesia ketika itu hampir-hampir saja menyepakati,
sastra melayu justru tidak penting diusulkan mendapat nobel sastra, bahkan
banyak sastrawan Melayu berucap “syukur tidak ada karya sastrawan Melayu yang
di-nobel-kan”, karena nobel itu tidak akan pernah sesuai dengan berkar budaya
Melayu. Seharusnya negara-negara melayu sendiri yang memikirkan penghargaan
sastra Melayu sendiri, bentuk apa yang harus diberikan kepada sastra agung
Melayu, yang berakar pada rumpun melayu dan atau melayu serumpun ini.
Pemikiran seperti tadi adalah
penting sebagai kepastian arah perjuangan Melayu untuk bangkit. Kepastian itu
memberi peluang untuk melangkah maju menghimpun kembali kekuatan bangsa-bangsa
Melayu (terutama Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura dan Brunei
Darussalam). Tegasnya saatnya Melayu bangkit, seiring dengan menguatnya
pengaruh global. Kebangkitan itu dibuktikan kemauan mencari dan merumuskan jawaban
masalah dan kegelisahan, dengan rekonstruksi pemikiran, formulasi kelembagaan
dan mekanisme hubungan sastrawan melayu, serta merencanakan program aksi malay
dilemma dan penguatan gerakan sastrawan budayawan Melayu. Rekonstruksi
pemikiran dan formulasi mekanisme hubungan sastrawan budayawan Melayu itu boleh
dituangkan dalam bentuk deklarasi dan atau testimoni dsb.
Memberikan jawaban
persoalan-persoalan dan pemikiran tadilah, “pertemuan sastrawan Melayu” ini
menjadi penting dan sangat signifikan. Fakultas Adab dan Ilmu Humaniora IAIN
Imam Bonjol Padang sharing dengan Dinas Pariwisata Propinsi Sumatera Barat
tampil digarda terdepan menyelenggarakan kegiatan Temu Sastrawan Melayu ini. Penyelenggaraannya
melibatkan beberapa stake holders,
khususnya personal dan institusi-institusi pendidikan tinggi yang intens berkecimpung dalam tradisi
akademik sastra. Person dan institusi
tersebut tersebar di beberapa negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti
institusi pendidikan tinggi di Indonesia,
Malaysia, Brunei Darussalam, kawasan Thailand Selatan, Singapura dan
Filipina Selatan untuk menggali kemajuan tradisi intelektual dan sosial budaya
yang pernah dicapai oleh bangsa-bangsa Melayu-Nusantara masa lalu yang nantinya
juga akan di-followup-i dengan
jaringan penelitian dan penerbitan sinergitas yang berskala Internasional.
0 komentar:
Posting Komentar