Pages

Senin, 04 November 2013

Latar Belakang Pemikiran Temu Karya Sastra Islam Melayu Tahun 2013



 Secara geografis, apa yang disebut Dunia Melayu itu merupakan sebuah kawasan yang luas dan tidak mudah dijelaskan batas-batasnya. Namun secara budaya tidak sukar diberi batas. Dari perspektif budaya melayu serumpun, dapat diberi batas kawasan inti melayu itu pada 6 (enam) negara yakni yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, sebagian Philipina dan Thailand.
Dilihat dari kesamaan aspek Socio-cultural dan sistem religi (Islam) di samping tradisi keilmuan (intelektual) yang berkembang dan dianut oleh masyarakat, Azyumardi Azra (1999: 17), mencatat, negara-negara kawasan di samping 6 negara Asia Tenggara tadi, dimasukan Vietnam, Kamboja dan sebagian masyarakat Islam Afrika Selatan dan Bangladesh. Sementara Naquib al-Attas (1999: iii) memasukkan pula kawasan besar budaya Islam seperti Arab, Irak, Turki dan Afrika Hitam. Artinya melayu seperti yang ditulis Yulizal Yunus (2012:2) tidak dapat dipisahkan dengan Islam, contoh kasus dalam budaya masyarakat Minang, terdapat komitmen Syara’ Mangato – Adat Mamakai (SM-AM) bagi pelaksanaan filosofi Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS - SBK), atau di Brunei ditunjukan dalam filosofinya IMB (Islam Melayu Beraja).

Di sisi lain juga tak sulit menentukan kawasan melayu, jika dilihat dari hasil-hasil kesusastraannya (Abdul Hadi WM., 2012: 1). Kesusastraan dalam pemahamannya termasuk wacana pendidikan terbaik, dan pemahaman ini dekat dengan pemahaman Arab “funun al-adab al-ta’limiy” (teknik sastra didaktik).  Justru kesusastraan mengikuti (A. Teeuw, 1994:251-252) merupakan pencapaian besar kebudayaan Melayu. Di dalam kesusasteraan Melayu itu besar pengaruh Islam.
Khazanah sastra Melayu begitu kaya dan naskah yang dijumpai melimpah. Isi naskah itu juga anekaragam. Karya-karya yang termasuk ke dalam lingkup sastra Melayu itu meliputi hikayat-hikayat teladan dan karya sastra lainnya,  mulai dari kisah Nabi-nabi khususnya Nabi Muhammad SAW,  kisah mengenai para sahabat Nabi, orang suci atau para wali, serta pahlawan-pahlawan awal dalam sejarah Islam (Abdul Hadi WM., 2012: 2; Suryadi Sunuri, 2012: 6).
Demikian besarnya pengaruh Islam terhadap kebudayaan dan kesusastraan Melayu pada Zaman Klasik sehingga semua perkembangan kesusastraan pada masa berikutnya—yakni setelah masuknya pengaruh Barat/ modern, pengaruh Tionghoa, dan ketika muncul kesadaran nasional serta kebangkitan kembali kebudayaan asli/ lokal di tengah interaksi kebudayaan global—selalu terkait dengan Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Walaupun demikian, setiap masa pengaruh tersebut tentu juga memiliki karakteristiknya masing-masing.
Kita tidak bisa menyangkal bahwa hubungan dengan dunia Eropa-Barat telah memberikan pengaruh yang besar terhadap kesusastraan Melayu. Pengaruh yang paling menonjol dari hubungan ini adalah meresapnya estetika modern yang antara lain memberikan otonomi yang lebih luas terhadap karya sastra sebagai ekspresi kebahasaan yang bersifat indiviual. Otonomi dan individualitas inilah yang kemudian menjadi pembeda tegas antara kesusastraan Melayu modern dari kesusastraan “zaman lama” yang fungsional dan kolektif.  
Hubungan antara dunia Melayu dengan dunia Barat berlangsung sejak pelayaran ekspedisi Ferdinand de Magellhaens berhasil menemukan jalur laut ke Kepulauan. Rempah-rempah melalui samudera Pasifik dan Vasco da Gama membuka jalur dagang ke Goa, India, yang dilanjutkan lagi dengan ekspedisi-ekspedisi ke Kepulauan Melayu. Titik balik terjadi ketika Alfonso D`Abulquerque menaklukkan Malaka pada 1511. Pada masa goyahnya kekuatan ekonomi-politik Melayu ini, pusat kebudayaan dan kesusastraan Melayu berpindah ke kerajaan-kerajaan Melayu lain, yakni Aceh, Johor, Riau-Lingga, Banjarmasin, Kelantan, Patani dan lain-lain.
Maka tidak aneh jika Braginsky (1998:1) menyatakan bahwa dasar tradisi kebudayaan Melayu adalah sastra. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa kebudayaan Melayu tidak menghasilkan pencapaian di bidang-bidang lain. “Dasar tradisi” sebagaimana yang disebutkan oleh Braginsky sering dianggap baru ada semenjak abad ke-16. Ini adalah tarikh tertua yang pernah diterakan pada manuskrip yang ditulis dengan aksara Jawi dan menggunakan bahasa Melayu (Harun Mat Piah, 2002:26).
Artefak sastra yang dihasilkan melalui sarana bahasa Melayu, aksara Jawi, kertas dan tinta sejak abad ke-16 inilah yang oleh kajian keilmuan Barat-modern dianggap memenuhi syarat sebagai objek formal dan material keilmuan. Tetapi pemahaman dengan ukuran-ukuran Barat-modern seperti ini terbukti telah menyisihkan realitas literer lain dalam kesusastraan Melayu, yakni hasil-hasil sastra yang tak dituliskan dan berkembang sebagai sastra lisan rakyat. Sehingga, kesusastraan Melayu sangat mungkin telah menjadi “dasar tradisi” kebudayaan Melayu jauh sebelum abad ke-16.
Ketika wilayah-wilayah rumpun Melayu (Nusantara) dikuasasi oleh negara-negara Barat (Inggris, Belanda, dan Portugis), kejayaan dan kekuatan politik Melayu-Islam dan segenap tradisi keilmuan serta socio-cultural mulai mengalami kemunduran. Satu demi satu kesulthanan Islam yang ada di lingkungan Melayu Nusantara jatuh di bawah kekuasaan penjajah. Bahkan akhir dari intervensi Barat menjadikan rumpun Melayu terpecah kepada beberapa negara nasional, di mana antara satu sama lain telah dibatasi oleh garis demarkasi yang tidak boleh dilanggar. Akibatnya spirit ke-Melayu-an seakan-akan telah hilang. Pengalaman sejarah yang pahit ini secara politis sangat merugikan bangsa-bangsa Melayu. Kekuatan bangsa Melayu yang pada masa lalu terjalin kuat, kini pecah. Bahkan dalam percaturan politik internasional, Melayu terpinggirkan. Bahkan di antara sesama negara Melayu seumpun rasa kemelayuan, tidak saja tergerus, tetapi sekali lagi telah lenyap dirasuki pertikaian negara-negara Melayu serumpun.
Antara Indonesia dan Malaysia saja misalnya pernah terjadi pertikaian yang tidak terselesaikan oleh kesantunan diplomasi. Fenomena ini membuat, hubungan persudaraan tidak saja retak tetapi cidera. Padahal pertikaian itu hanya dipicu kepentingan sesaat. Tidak kecuali misalnya dalam aspek politik dan perlindungan bangsa dan tanah tumpah (tanah air) pada kasus pulau Sempadan, soal Hambalat yang dilatari kepentingan ekonomi segelitir komponen bangsa Melayu, persoalan TKI yang dipicu kepemilikan dokumen imigrasi, produk kuliner dan kesenian dipicu pesoalan siapa yang harus memegang hak-hak intelektualnya yang juga bernuansa ekonomi juga dsb. Sama juga halnya dengan masa era reformasi di Indonesia 1998, ada kekhawatiran negara-negara Melayu lainnya, terimbas kebebasan (demokrasi yang kepablasan).
Persoalan seperti tadi itu, sebenarnya tidak harus menciderai hubungan persaudaraan melayu bahkan sistem kekerabatan antara warga yang duduk (tinggal) di dua negara itu. Seharusnya, kalau saudara kita sukses di politik dan punya kekuatan ekonomi. justru kita bangga. Tidak harus marah dan sakit hati merasa terambil haknya dsb. Kalau dulu masa 1960-an bangsa ini yang hendak didominasi politisi komunis, pernah dikumandangkan “ganyang Malaysia”, maka sekarang apa salahnya dibuat arus balik, “sanang Malaysia”. Justru perjalanan qalbu saudara Melayu ini seharusnya begitu, merasa senang saudaranya maju, seiring dengan bangsa Melayu lainnya ingin maju.
Penguatan perjalanan qalbu Melayu tadi dalam memperkuat ketahanan budaya dari ancaman berbagai konflik, adalah memungkinkan mengedapankan sastra sebagai pendamai dan atau sebagai safety valve (katup pengaman) konflik itu. Katup pengaman itu diupayakan sebagai energi pendaman berbagai konflik sistem budaya Melayu (terutama dalam sistem politik, sistem ekonomi, sistem kesenian dsb). Artinya ingin mengajak bangsa Melayu bersastra, ketika didera berbagai konflik. Justru sastra sudah merupakan akar budaya dan puncak supremasi kebudayaan Melayu.
Tentang fenomena cidera persaudaraan Melayu karena politik seperti tadi, dicatat pula temu sastrawan internasional Indoensia – Malaysia di Pusat Dokumentasi HB Jassin di TMI Jakarta Pusat 29 Agustus 2013 lalu. Justru fenomena politik itu satu di antara faktor penyebab sastra melayu tidak muncul dan tidak memiliki daya saing meraih penghargaan internasional seperti nobel sastra (Hasan Alwi, 2013). Namun para sastrawan Malaysia – Indonesia ketika itu hampir-hampir saja menyepakati, sastra melayu justru tidak penting diusulkan mendapat nobel sastra, bahkan banyak sastrawan Melayu berucap “syukur tidak ada karya sastrawan Melayu yang di-nobel-kan”, karena nobel itu tidak akan pernah sesuai dengan berkar budaya Melayu. Seharusnya negara-negara melayu sendiri yang memikirkan penghargaan sastra Melayu sendiri, bentuk apa yang harus diberikan kepada sastra agung Melayu, yang berakar pada rumpun melayu dan atau melayu serumpun ini.
Pemikiran seperti tadi adalah penting sebagai kepastian arah perjuangan Melayu untuk bangkit. Kepastian itu memberi peluang untuk melangkah maju menghimpun kembali kekuatan bangsa-bangsa Melayu (terutama Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura dan Brunei Darussalam). Tegasnya saatnya Melayu bangkit, seiring dengan menguatnya pengaruh global. Kebangkitan itu dibuktikan kemauan mencari dan merumuskan jawaban masalah dan kegelisahan, dengan rekonstruksi pemikiran, formulasi kelembagaan dan mekanisme hubungan sastrawan melayu, serta merencanakan program aksi malay dilemma dan penguatan gerakan sastrawan budayawan Melayu. Rekonstruksi pemikiran dan formulasi mekanisme hubungan sastrawan budayawan Melayu itu boleh dituangkan dalam bentuk deklarasi dan atau testimoni dsb.
Memberikan jawaban persoalan-persoalan dan pemikiran tadilah, “pertemuan sastrawan Melayu” ini menjadi penting dan sangat signifikan. Fakultas Adab dan Ilmu Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang sharing dengan Dinas Pariwisata Propinsi Sumatera Barat tampil digarda terdepan menyelenggarakan kegiatan Temu Sastrawan Melayu ini. Penyelenggaraannya melibatkan beberapa stake holders, khususnya personal dan institusi-institusi pendidikan tinggi yang intens berkecimpung dalam tradisi akademik sastra.  Person dan institusi tersebut tersebar di beberapa negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti institusi pendidikan tinggi di Indonesia,  Malaysia, Brunei Darussalam, kawasan Thailand Selatan, Singapura dan Filipina Selatan untuk menggali kemajuan tradisi intelektual dan sosial budaya yang pernah dicapai oleh bangsa-bangsa Melayu-Nusantara masa lalu yang nantinya juga akan di-followup-i dengan jaringan penelitian dan penerbitan sinergitas yang berskala Internasional.

0 komentar:

Posting Komentar