Muhardis
abstrak
Jodoh adalah salah satu ketetapan Tuhan,
selain maut dan rezeki. Akan tetapi, banyak pendapat yang berkembang bahwa
jodoh memang telah ditetapkan, namun manusia tetap disuruh untuk berusaha
menemukan jodohnya sendiri. Setelah menemukan seseorang yang benar-benar
diyakini sebagai jodoh, langkah selanjutnya adalah menyerahkan semuanya pada
Tuhan. Inilah yang dikatakan sebagai Takdir. Dalam hal perjodohan, ada kalanya
Tuhan memberikan petunjuk bagi siapa-siapa yang dikehendakinya. Hal ini lah
yang dijadikan sebagai suatu keyakinan oleh beberapa tokoh dalam novel Memang Jodoh. Mimpi, ramalan, dan tenung
dianggap sebagai cara-cara Tuhan dalam memberi petunjuk tentang jodoh. Dalam
usaha pemenuhuan takdir tersebut, ada yang mendatangi dukun, ada pula yang
mengancam untuk bunuh diri. Di sisi lain, ada beberapa tokoh yang berusaha menentang
Takdir tentang jodoh tersebut. Penentangan ini dilakukan dengan cara meracuni,
ancaman pemutuskan tali persaudaraan, bahkan ancaman pembunuhan. Melalui novel Memang Jodoh ini, dapat diketahui
bagaimana cerminan takdir, dikaitkan dengan kultur jawa dan Padang sebagai
latarnya.
Keyword: takdir, jodoh, kultur, jawa, Padang
PENDAHULUAN
Memang Jodoh adalah novel terakhir dari Marah Rusli. Banyak yang berpendapat
bahwa isi novel ini merupakan semiautobigrafi Marah Rusli itu sendiri.
Pandangan ini tidak sepenuhnya bersifat subjektif karena di awal novel,
terdapat sedikit prakata dari Rully Roesli, salah seorang cucu Marah Rusli. Di bagian
awal prakata ini, Rully bercerita bagaimana masa-masa ia menyaksikan Marah menulis
draft novel Memang Jodoh ini. Menurutnya, novel ini ditulis Marah jauh sebelum
munculnya Sitti Nurbaya. Sebelum
sampai ke tangan pembaca, novel ini melalui proses panjang karena naskahnya
ditulis dalam tulisan arab gundul.
(http://horisononline.or.id/rampai-rampai/novel-memang-jodoh-persembahan-terakhir-marah-roesli).
Novel ini
dapat dikatakan termasuk angkatan Balai
Pustaka. Kawin paksa dan sikap otoriter orangtua dalam menentukan jodoh anak
(Mujiyanto, 2007:26) dalam novel ini, dianggap sebagai penciri karya ini
sebagai karya angkatan Balai Pustaka. Akan tetapi, tidak sepenuhnya cerita
dalam novel ini menyikapi adat kawin paksa dan dominasi orang tua sebagai
sesuatu yang wajar. Melalui dialog antartokoh, dapat diketahui bagaimana
“pemberontakan” Marah Rusli. Ia lebih menganggap jodoh bukanlah berada di
tangan orangtua atau mamak. Jodoh adalah semata-mata hak otoriter Tuhan yang
telah ia tuliskan di Lauhul Mahfuzh. Jodoh adalah takdir dari yang Mahakuasa.
Marah Rusli
mengambil setting tempat, waktu,
peristiwa, dan suasana di Padang dan Jawa Barat. Selain itu, pengarang juga
mengambil setting benda-benda
(seperti kartu dan gasing tengkorak) sebagai penghubung dengan penokohan dan
perwatakan pelakunya. Aminuddin (2010:70) menekankan bahwa setting yang
dihadirkan seorang pengarang dalam karya fiksinya, perlu diperhatikan karena
setting mampu menyiratkan makna-makna tertentu sehingga bersifat metaforis. Entah
disengajanya atau tidak, Padang adalah ibukota Sumatera Barat, dan Jawa Barat
merupakan salah satu provinsi yang ada di bagian barat pulau Jawa. Kesamaan
keduanya adalah sama-sama berada di bagian barat. Selain itu, ternyata kedua
wilayah barat ini juga memiliki beberapa kesamaan dalam memaknai takdir.
Dalam
makalah ini, penulis akan mendeskripsikan bagaimana pandangan kultur Jawa dan
Padang dalam menyikapi takdir yang direfleksikan pengarang, Marah Rusli, dalam
novelnya Memang Jodoh. Pembahasan
diawali dengan apa itu takdir, bagaimana pandangan orang-orang Jawa Barat dan
Padang terhadap takdir, dan usaha-usaha dalam pemenuhan maupun penolakan takdir
tersebut.
PEMBAHASAN
Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya
ini yang meliputi semua sisi kejadiannya, baik itu mengenai kadar atau
ukurannya, tempatnya, maupun waktunya. Dengan demikian, segala sesuatu yang
terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia (Al-Quran, QS.Yusuf [12];
Ayat:68). Dari terjemahan ayat ini dapat diketahui bahwa takdir manusia sudah
ditentukan oleh Tuhan Yang Mahakuasa.
Masalah
takdir yang diangkat sebagai pokok cerita dalam novel Memang Jodoh ini lebih dekat pada takdir jodoh. Jodoh sudah diatur
oleh Tuhan. Mengenai pandangan bahwa takdir memang sudah dituliskan di Lauhul
Mahfuzh, termasuk jodoh sebagai suatu takdir, memang tidak sedikit pun terdapat
keraguan bagi orang Jawa Barat.
“Rupanya perjodohan itu bukanlah perbuatan dan kekuasaan manusia
saja, melainkan memang telah ditetapkan
di Lauhul Mahfuzh” (MJ:141)
Kutipan di atas adalah
tuturan dari Radin Asmawati, tokoh perempuan asal Jawa Barat. Radin asmawati
adalah anak Radin Jaya Kesuma yang ahli agama. Dari tuturan di atas diketahui
bahwa secara tidak langsung, orang Jawa Barat masih memercayai bahwa jodoh
sebagai suatu takdir memang telah ditentukan oleh Nya.
Pandangan terhadap takdir
bagi sebagian tokoh dalam novel ini, baik orang-orang Padang maupun Jawa Barat,
lebih bersikap pasrah, meskipun sebagian lain juga berusaha menolak takdir
tersebut. Bagi mereka yang menganggap semua yang terjadi adalah takdir Tuhan,
mereka cenderung tidak berlaku apa-apa selain menyerahkan semua urusan pada
Tuhan. Semua ada dalam kendali Tuhan.
“…karena sudah nasibku
seperti ini. Telah ditakdirkan
Tuhan, tak dapat diubah lagi. Oleh sebab itu, biarlah aku menepati untung
nasibku ini.” (MJ:90).
Kutipan di atas merupakan
kepasrahan tokoh utama Hamli tentang kehidupannya. Hamli adalah pemuda
keturunan ayah dari Padang dan ibu dari Jawa. Perkataan tersebut ia tuturkan
saat dirinya ditanyai kawan-kawan sesama murid Sekolah Raja. Sekolah Raja
adalah sekolah yang diperuntukan untuk calon guru. Hamli dan kawan-kawannya
diceritakan sedang melakukan permainan domino sebagai perentang hari menuju
hari perpisahan. Kawan-kawannya bertanya apa yang akan ia lakukan selepas ia
tamat dari Sekolah Raja. Hamli hanya berpasrah saja terhadap kehidupannya
kelak.
Selain Hamli, tokoh Ratu
Maimunah, ibu dari Radin Asmawati (istri Hamli), juga mewakili pengarang
mencerminkan kesamaan pola pikir orang Jawa Barat dengan orang Padang. Takdir
adalah sesuatu yang ketetapannya tidak dapat ditentang.
“Sekalian nasihat dan perkataan Adinda Patih tadi memang benar,
tetapi dapatkah kita menentang takdir
Tuhan?”
Tuturan
Ratu Maimunah ini muncul saat ia mengabari rencana perjodohan Radin Wati dengan
Hamli, seorang laki-laki asal negeri seberang (Padang) kepada saudaranya Patih
Anggawinata. Ia menganggap kalau pertemuan anaknya, Din Wati dengan Hamli
adalah jodoh yang telah ditentukan sebagai takdir keduanya.
Kepasrahan
tokoh-tokoh dalam novel ini untuk menerima takdir Tuhan tidak serta merta
merupakan kepasrahan tanpa alasan. Mereka berlaku demikian dikarenakan hal-hal
yang bersifat kepercayaan. Danandjaya (1991:153) mengistilahkan kepercayaan ini
dengan folk belief. Kepercayaan
rakyat ini tidak berdasarkan logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Melalui
novel ini, pengarang mencerminkan folk
belief yang hidup di tengah-tengah kebudayaan Padang dan Jawa Barat. Kepercayaan
tersebut dapat berupa percaya pada mimpi, ahli nujum, praktik pertenungan, dan
ramalan orang-orang suci. Kepercayaaan inilah yang memaksa beberapa orang tokoh
dalam novel ini untuk menerima takdir yang seolah-olah di”kirimkan” Tuhan
melalui orang-orang “suci” tersebut.
Definisi 'tenung'
adalah kepandaian
untuk mengetahui (meramalkan) sesuatu yang gaib (seperti meramalkan nasib,
mencari orang hilang): juru (tukang, pandai) adalah ilmu hitam untuk mencelakakan orang. Tenung dilakukan
oleh seorang dukun. Dukun tenung
adalah dukun yang memiliki atau mampu menggunakan kekuatan gaib terhadap
manusia. Sementara itu, nujum adalah perbintangan untuk meramalkan (mengetahui)
nasib orang dsb: orang yg mengetahui segala alam. (KBBI:2008)
Kisah
perjodohan Hamli dengan Radin Wati diawali dari mimpi Anjani, ibu Hamli. Ia
sangat mempercayai bahwa jodoh anaknya, Hamli, tidak berasal dari tanah Minang.
“Tatkala dia tiga bulan dalam kandungan ibunya, Anjani telah
mendapat ilham, yaitu mimpi. Dalam mimpi itu, suaminya Sutan
Bendahara, datang dari tanah Jawa membawakannya seekor burung bayan (Nuri) yang
amat elok rupanya” (MJ:138).
Merasa
aneh dengan mimpinya, Anjani mendatangi ahli nujum. Hasil nujum inilah yang
selalu dipegang Anjani.
“Ketika kami tanyakan kepada ahli
nujum yang pandai, apa tabir mimpi itu, dia berkata: anak yang dikandung
Anjani, Hamli ini, jodohnya ada di
tanah Jawa” (MJ:141)
Lagi-lagi
kepercayaan rakyat sangat mempengaruhi pola pikir orang Jawa Barat. Selain
Anjani, Radin Asmawati, istri Hamli pun juga mengalami hal yang sama, yakni
merasa bahwa jodohnya bukan orang-orang yang senegeri dengannya. Apabila Anjani
memercayai ahli nujum, Din Wati memercayai tukang tenung.
“Syukurlah!
Jawab Din Wati, yang mulai percaya
akan tenungan Mpok Nur ini” (MJ:108)
Selain percaya
pada tukang tenung, Din Wati juga memercayai wasiat/ramalan Ajengan Kiai
Naidan. Ia adalah guru ayahnya, Radin Jaya Kesuma. Ia dibawa ayahnya ke tempat
kiai tersebut atas permintaan kiai. Saat itu ia baru berusia sepuluh tahun. Di
sanalah ia mendapatkan ramalan sekaligus wasiat tentang perjodohannya.
“Ketahuilah oleh Radin, bahwa anak Radin inilah kelak yang akan menjadi ibu saya di kemudian hari, dalam kehidupan
saya yang akan datang. Setelah datang jodohnya
dari seberang, seorang laki-laki yang baik budi pekertinya, dia akan
beranakan saya.” (MJ:107)
Ramalan itulah yang
selalu Radin Asmawati pegang teguh. Ia hanya akan menikah dengan laki-laki
alim, baik budi pekertinya. Ia akan melahirkan seorang kiai, sudah semestinya
suaminya kelak adalah orang alim pula. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
berikut.
“Baiklah! Jika demikian, kecantikan saya untuk orang alim; karena itulah rupanya yang akan menjadi jodoh saya.
Kemuliaan akhirat lebih daripada kejayaan dunia.” (MJ:105)
Hal-hal di atas tentu
bertentangan dengan firman Tuhan yang mengatakan kalau Tuhan tidak akan
mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang berusaha untuk
mengubahnya. Nasib, jodoh, rezeki semuanya sudah diatur oleh Tuhan. Tuhan pun
tidak senang melihat umatnya hanya berpasrah menerima ketetapan-Nya. Mengenai
mimpi, tenung, dan ramalan, belum tentu itu merupakan tanda-tanda yang Tuhan
berikan kepada umatnya perihal ketetapnnya yang bersifat ghaib.
Sebagai seorang muslim,
tidak sepantasnya Hamli berputus asa seperti itu. Yang pertama harus dilakukan
seorang muslim untuk menerima takdirnya adalah dengan usaha dan ikhtiar.
Setelah semuanya dilaksanakan, barulah semua urusan diserahkan pada Nya.
Seperti kutipan terjemahan berikut.
“Dan hanya kepada
Allah-lah kesudahan segala urusan “ (Luqman / QS. 31:22).
Selain tenung, nujum,
dan ramalan sebagai bentuk kepasrahan menerima takdir Tuhan, guna-guna juga
merupakan salah satu bentuk yang dipercayai sebagai penyebab terwujudnya
takdir. Hal ini diketahui dari tuturan Patih Anggawinata saat mengetahui
perjodohan kemenakannya, Radin Asmawati dengan Hamli.
“Ananda, Mamanda khawatir, kalau
ananda telah terkena guna-guna
orang. Orang seberang masyhur kepandaiannya tentang ilmu muda dan guna-guna.”
(MJ:196)
Dari beberapa uraian
di atas dapat diketahui bagaimana pandangan orang-orang padang dan Jawa Barat
dalam memaknai takdir. Mereka cenderung memaknai takdir sebagai ketetapan Tuhan
dan dikirimkan melalui mimpi, hasil tenungan, nujum, atau ramalan kiai. Nyata-nyata
perbuatan mereka tidaklah berkesesuaian dengan ajaran agama yang mereka anut.
Marah Rusli selaku pengarang, secara tegas meyakinkan pembaca akan
kebenarannya. Bahkan, cara-cara seperti niat bunuh diri Radin Asmawati dalam
upaya pemenuhan takdir jodohnya untuk hidup bersama Hamli, dihadirkan pengarang
untuk memperkuatnya.
“Jika ananda tak diizinkan kawin dengan Hamli, biarlah ananda mati
bersama-sama dengan dia, karena dia pun tak mau hidup lagi di atas dunia ini
jika tidak bersama-sama ananda. (MJ:197).
Kutipan tersebut merupakan tuturan Radin Asmawati saat ia tidak
diizinkan Mamanda Patih Anggawinata untk menikah dengan Hamli. Radin Asmawati
sudah begitu yakin akan tenungan Mpok Nur, melalui kartu-kartunya, bahwa
jodohnya sudah dekat. Berulang kali ia mengocok kartu tersebut, bergantian
dengan Radin Asmaya, bibinya, dan Mpok Nur. Hasilnya tetap sama. Kartu ikan dan
air selalu muncul berdekatan. Ini merupakan pertanda bahwa jodohnya memang
sudah dekat, dan laki-laki itu adalah Hamli.
Selain hasil tenungan tersebut, Radin Asmawati sangat terpengaruh
wasiat/ramalan dari kiai Naidan, guru ayahnya. Hamli berasal dari seberang,
berbudi baik, meskipun baru berstatus siswa. Cerita mengenai ibu Hamli, Anjani,
mengenai mimpinya dihadiahi seekor burung Nuri dari Jawa, semakin memantapkan
hati Radin Asmawati untuk menikah dengan Hamli. Ia dan Hamli memang jodoh.
Semua sudah dikabarkan melalui mimpi ibu Hamli, dan tenungan Mpok Nur, serta ramalan
kiai Naidan. Ia meyakini itu semua, sehingga mati pun ia pilih daripada tidak
jadi berjodoh dengan Hamli.
Dalam pandangan Islam, perbuatan Radin Asmawati bukanlah suatu
perbuatan yang sepatutnya. Perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai
bentuk pemaksaan. Orangtua mana pun akan memenuhi permintaan anaknya apabila si
anak mengancam untuk bunuh diri. Apalagi, Ratu Maimunah dan Radin Jaya Kesuma,
orangtua Radin Asmawati. Mereka tidak ingin anaknya bunuh diri. Selain itu, ia
juga sudah terpengaruh ramalan kiai Naidan, guru suaminya.
“Jangan ada niat hendak bunuh diri karena itu adalah suatu
kesesatan dan dosa besar. Kawinlah
dengan Hamli” (MJ:200)
“Rupanya Radin Jaya Kesuma memang
masih ingat akan sekalian amanat gurunya. Tidaklah dia sak
wasangka lagi.” (MJ:202)
Dari dua kutipan di atas diketahui begitu kuatnya pengaruh mimpi,
tenungan, nujum, dan ramalan terhadap pola pikir sesorang. Demi mengikuti itu
semua, seseorang dengan mudahnya “menyalahkan” Tuhan sebagai bentuk penerimaan
akan kebenaran perilakunya. Di pertengahan novel ini, pengarang mewujudkan
semua hasil tenungan, mimpi, nujum, dan ramalan dari kedua kultur ini (Padang
dan Jawa Barat), yakni dengan menikahkan Hamli dengan Radin Asmawati. Dengan
begitu, pengarang semakin “memenangkan” cara-cara tersebut sebagai suatu tanda
dari Tuhan untuk memberitahu makhluknya tentang takdir.
Selain pandangan bahwa jodoh merupakan takdir Tuhan, dalam novel ini,
pengarang juga memberikan pemahaman lain terhadap usaha untuk “menciptakan “
takdir baru, guna menandingi takdir Tuhan. Hal ini diketahui melalui perbuatan
tokoh-tokoh lain yang berusaha menentang takdir Tuhan dan jodoh ada di tangan
mereka. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan oleh pihak-pihak keluarga kedua
mempelai.
Keluarga Radin Asmawati (Mamandanya, Radin Wangsadipura dan Radin
Wiradinata) tidak menginginkan kemenakannya, Radin Asmawati menikah dengan
Hamli. Ia ingin Radin Asmawati menikah dengan kemenakan istri Radin Anggawansa.
Inilah takdir untuk Radin Asmawati yang dirancang oleh mereka. Untuk
memenuhinya, memenuh Hamli secara langsung, atau menggunakan racun, akan mereka
lakukan.
“Saya bawa Hamli ini berjalan-berjalan ke pinggir
sungai Cisadane, kemudian saya jerumuskan
ke dalam air; jika perlu sesudah kepalanya kena pukulan” (MJ:207)
“Racun
masih ada, yang lebih halus jalannya daripada
jatuh terjerumus ke dalam sungai.”
(MJ:210)
Tidak hanya Hamli, bahkan kemenakan mereka sendiri,
Radin Asmawati akan dibunuh kalau tidak mau menuruti “takdir” yang telah mereka
tetapkan. Mereka menganggap apabila ia tetap menikah dengan orang di luar
sukunya, hal itu akan member malu. Lebih baik Radin Asmawati dibunuh saja.
“Siapa pun yang hendak
mencemarkan nama baik kita, harus kita
binasakan, biar pun kaum keluarga kita sendiri.” (MJ:209)
Lain halnya dengan keluarga Hamli di Padang. Penolakan terhadap
pernikahan Hamli dengan perempuan yang bukan berbangsa Minangkabau, dianggap
sebagai suatu aib. Sudah sepatutnya ia menikah dengan anak mamaknya di Solok.
Selain mengikuti adat, pernikahan tersebut merupakan pernikahan balas budi atas
biaya yang dikeluarkan mamak Hamli untuk menyekolahkan Hamli. Mamak Hamli,
Baginda Raja, melakukan berbagai cara untuk memenuhi takdir yang ia “ciptakan”
sendiri. Bahkan, ia tega memutuskan hubungan persaudaraannya dengan ibunda
Hamli, dan mengusirnya dari rumah yang ia tempati. Selain itu, ia juga meminta
Hamli untuk mengganti semua biaya yang telah ia keluarkan untuk menyekolahkan
Hamli.
“Jika tidak diturutinya perkataan saya
ini, maka putuslah saya berkemenakan
dengan dia, dan putuslah saya
bersaudarakan ibunya dan beribukan
neneknya!”(MJ:251)
“Hamli harus mengembalikan sekalian biaya yang
telah saya keluarkan untuk dirinya.” (MJ:251)
Dihadapkan pada hal tersebut, tentu seseorang akan mengalami goncangan
kejiwaan. Akhirnya, Anjani, ibunya Hamli, hanya bias menangis dan meratapi
hidupnya. Bukan dia yang menikahkan Hamli dengan perempuan lain, tetapi ia yang
harus menanggung akibatnya. Ia hanya bias pasrah mengikuti perkataan Sulaiman,
anggota keluarganya yang lain.
“Oleh sebab
itu, marilah kita terima takdir ini dengan sabar dan tawakal pada yang mahakuasa.”
PENUTUP
Dari beberapa
uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa takdir daam pandangan sebagian orang Padang
dan jawa Barat adalah sesuatu yang merupakan ketetapan Tuhan. Sebagai makhluk,
manusia hanya bisa berserah diri. Tuhan memberikan gambaran takdir melalui
mimpi, tenung, nujum, dan ramalan. Celakanya, sebagian mereka masih mempercayai
hal tersebut. Jelas-jelas perbuatan itu melanggar ajaran agama.
Akan tetapi, sebagian lain beranggapan bahwa takdir itu masih dapat
diciptakan oleh manusia. Berbagai cara pun dilakukan dengan tidak memandang
apakah perbuatan itu benar atau tidak. Membunuh, meracuni, bahkan memutuskan
tali persaudaraan yang merupakan fitrah pemberian Tuhan, tega dilakukan agar
takdir “ciptaan” mereka sendiri dapat terlaksana.
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin.
2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Danandjaya.
1991. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip,
Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Pusat Bahasa.
2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, Edisi IV. Jakarta: Gramedia.
Mujiyanto, Yant dan Amir Fuady. 2007. Sejarah Sastra Indonesia (Prosa dan Puisi).
Surakarta: LPP dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS.
Rusli, Marah. 2013. Memang Jodoh. Jakarta: Qanita.
0 komentar:
Posting Komentar