[1]
Oleh Darman Moenir
KESUSASTRAAN Melayu boleh berarti kesusastraan di semua wilayah Melayu: Indonesia, sebagian Malaysia,
Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, dan Filipina. Sekarang,
Melayu mengalami
pergeseran nilai. Itu antara lain disebabkan kemajuan teknologi informasi apa saja bisa masuk ke, dan tersimak dalam kehidupan. Namun, dari dulu, pada dasarnya kesusastraan Melayu terbentuk
dan dipengaruhi Cina, India dan Arab dan Barat. Kesusastraan India terutama masuk
dari penyebaran agama Hindu dan Budha. Kerajaan-kerajaan bernafaskan Hindu dan
Budha mendominasi Nusantara abad ke-5 Masehi, ditandai dengan kehadiran
kerajaan tertua sampai penghujung abad ke-15.
Kesusastraan Cina masuk melalui interaksi perdagangan, bersama perantau dari selatan
Tiongkok. Mereka menetap, menikahi penduduk lokal, menghasilkan perpaduan kesusastraan
yang unik. Kesusastraan
seperti ini kemudian jadi akar kesusastraan
lokal modern Melayu. Kesusastraan Arab masuk melalui penyebaran
Islam. Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16, dan penjajahan yang
berlangsung selanjutnya, menghasilkan pelbagai bentuk kesusastraan Barat.
Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya
seperti perekonomian, dan sebagainya, banyak diadopsi dari Barat, dan berkarakter Barat.
Eksplorasi Sastra
BAGAIMANA
“kedudukan” dan
karakter karya sastra dalam eksplorasi sastra Melayu? Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksplorasi
berarti (1) penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih
banyak tentang keadaan terutama sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu,
penyelidikan, penjajakan, (2) kegiatan untuk memperoleh pengalaman baru dari
situasi yang baru, (3) penyelidikan dan penjajakan daerah yang diperkirakan
mengandung mineral berharga dengan jalan survei geologi, survei geofisika, atau
pengeboran untuk menemukan deposit dan mengetahui luas wilayahnya.
Dengan pemahaman
itu bersuakah karya sastra sebagai eksplorasi budaya bangsa dan karakter Melayu? Dan
bagaimana “bentuk” konkret pertemuan penting karya sastra dan eksplorasi budaya
itu? Tidakkah corak kesusastraan Malaysia lebih dominan
Inggris sebagai akibat lama dijajah bangsa itu? Begitu pula dengan Indonesia
yang lama dijajah Belanda? Pengaruh Islam juga membedakan keberadaan sastra
modern yang bernafaskan Islam: dengan gaya dan pengucapan yang berbeda
dibanding Barat. Karya sastra Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi
boleh menjadi contoh.
Oleh karena itu, perlu
dijelaskan, menulis karya sastra, bagi seorang sastrawan, pada hakikatnya
adalah “pekerjaan” (di antara tanda petik) kreatif. Sering diungkap, setelah
Allah SWT menciptakan laut maka manusia membuat garam, setelah Allah SWT
menciptakan kapas maka manusia membuat kain, dan setelah Allah SWT menciptakan
eter maka manusia mengadakan komunikasi maya. Dan setelah Allah SWT menciptakan
alat bicara dan kata dan bahasa (juga bahasa Melayu) maka manusia melakukan bahasa tulis dan penyair
menciptakan puisi, novelis menciptakan novel.
Sekali garam terbentuk, sekali kain tertenun, dan
sekali internet terujud, maka kreativitas itu berubah menjadi produktivitas.
Pembuat garam, penenun dan pembuat piranti dunia maya berikut hanya mengulang
atau melanjutkan apa yang dikerjakan pendahulu. Tidak lebih, tidak kurang.
Begitu pula, Salah Asuhan (Abdoel
Moeis, 1928), menjadi penemuan Abdoel Moeis. Siapa pun yang kemudian menulis seperti yang dilakukan Abdoel Moeis
takkan menghasilkan novel yang bernilai kreatif. Begitu
pula kumpulan cerita pendek Salah Pimpin,
dan Cerita Sepanjang Jalan IX oleh Keris
Mas. Agaknya hal demikian terjadi di Singapura, Thailand, Brunei, dan Filipina
yang Melayu.
Di Indonesia, dalam rentang awal abad lampau bisa disimak
novel-novel kerja kreatif sastrawan angkatan Balai Pustaka yang mengeksplorasi
budaya, dan karakter Melayu. Mereka antara lain adalah Marah Roesli, Muhammad
Yamin, Nur Sutan Iskandar, Tulis Sutan Sati, Djamaluddin Adinegoro, Abbas
Soetan Pamoentjak, Abdoel Moeis, dan Aman Datoek Madjoindo (Mahayana M.S.,
Sofyan O., Dian A., 2000). Dengan eksplorasi itu bahkan novel-novel mereka
menandai kelahiran novel modern Indonesia. Beberapa karya mereka sangat
terkenal, hingga sekarang: Siti Nurbaya
Marah Roesli, Sengsara Membawa Nikmat
Tulis Sutan Sati. Berikut beberapa novel modern itu: Salah Pilih Nur Sutan Iskandar, Pertemuan
Abbas Soetan Pamoentjak, Cinta yang
Membawa Maut Nur Sutan Iskandar, La
Hami Marah Roesli, Tak Disangka
Tulis Sutan Sati, dan Apa Dayaku karena
Aku Seorang Perempuan Nur Sutan Iskandar.
Hampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan
novel-novel terutama Salah Asuhan dan Siti
Nurbaya menjadi
karya penting kesusastraan Indonesia.
Secara tematik, seperti yang disinggung H.B. Jassin, Zuber Usman, Ajip Rosidi,
Sapardi Djoko Damono, maupun Teeuw, novel ini tidak hanya menampilkan latar
sosial secara lebih jelas, tetapi juga mengandung kritik tajam terhadap
adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Novel ini pula yang pertama
kali menampilkan masalah perkawinan dalam hubungannya dengan persoalan adat,
yang kemudian banyak diikuti pengarang Indonesia. Tidakkah dengan demikian
sesungguhnya eksplorasi budaya bangsa jadi “pekerjaan” sastrawan?
Itulah yang
tersua dalam Intan oleh Abdullah
Hussain, sastrawan besar Malaysia, yang menyindir sifat buruk manusia dalam
bentuk humor sarkastik. Pengaruh tradisi sastra Islam juga membedakan
keberadaan sastra modern yang bernafaskan Islam: dengan gaya dan pengucapan
berbeda. Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi menjadi contoh
konkret.
Itulah yang diolah Arena Wati yang bernenek-moyang di Jeneponto,
Sulawesi Selatan. Arena Wati menautkan nasionalis Melayu: Jawa, Bugis, Banjar,
Minangkabau, Aceh, Jakun dan Sakai, Talang Mamak, dan Malbari, adalah Melayu!
Kebaruan
dan Mutu
Nur Sutan Iskandar disebut "Raja Angkatan
Balai Pustaka" sebagai akibat karya-karyanya yang
bernilai demikian. Begitu pula novel-novel
Hamka yang monumental: Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya
Kapal van der Wijck, Di Dalam Lembah
Kehidoepan. Eksplorasi Angkatan 1945 berkarya sesuai alam kemerdekaan dan
hati nurani antara lain menampilkan Tiga
Manguak Takdir oleh Asrul Sani, Rivai Apin dan Chairil Anwar. Pada periode
ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain
ke Roma oleh Idroes dan Atheis
oleh Achdiat K. Mihardja dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia. Begitu pula Bumi Manusia
dan Anak Semua Bangsa Pramoedya
Ananta Toer.
Sastrawan angkatan 1950-60-an yang eksploratif
antara lain adalah Mochtar Lubis dengan Tak
Ada Esok, Jalan Tak Ada Ujung, Tanah Gersang, Senja di Jakarta, Harimau-harimau dan Ali Akbar Navis dengan Hujan Panas dan Kemarau (1967). Navis sendiri lebih terkenal dengan Robohnya Surau Kami. Inilah cerpen islamik terbaik, sampai saat ini, pada hemat saya, yang
ada di bumi Melayu. Setelah Navis, ada
Wisran Hadi, Chairul Harun, Rusli Marzuki Saria, Leon Agustra, Abrar Yusra,
Raudha Thaib alias Upita Agustine, Harris Effendi Thahar, Gus tf Sakai, Khairul Jasmi, Zaili Asril, Dewi Sartika, Raudal Tanjung Banua, Yusrizal K.W., Hendri Teja, Sulfiza
Ariska. Dan, selama lima tahun terakhir, dari Provinsi Sumatera Barat terbit
paling tidak 50 (baca: lima puluh judul) karya sastra baru, bukan ulang-cetak.
Tidak mungkin diabaikan Keluarga Permana, Upacara, Olenka, Khotbah di Atas Bukit, Saman. Dan Angkatan 1966-70-an ditandai
dengan penerbitan Horison. Semangat avant-garde dan ekploratif terhadap
budaya dan karakter bangsa juga menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan
ini muncul dalam beragam aliran: surealistik, arus kesadaran, asketik, absurd.
Pustaka Jaya membantu menerbitkan karya sastra pada masa ini. Sastrawan yang
termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro,
Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Satyagraha
Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin. Ada Sutardji
Calzoum Bachri, Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto
Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu
Wijaya, Wing Kardjo, Taufiq Ismail, dan yang lain.
Umar Kayam melahirkan Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Sri Sumarah dan Bawuk, Para
Priyayi, Jalan Menikung, Danarto Godlob, Adam Makrifat, Berhala,
Nasjah Djamin Hilanglah si Anak Hilang
(1963), Gairah untuk Hidup dan untuk Mati
(1968), dan Putu Wijaya menulis novel-novel Bila
Malam Bertambah Malam (1971), Telegram
(1973), Stasiun (1977), Pabrik, Gres, Bom dan Djamil Suherman
dengan Perjalanan ke Akhirat (1962), Manifestasi (1963), Titis Basino dengan Dia, Hotel, Surat Keputusan (1963), Bukan Rumahku (1976), Pelabuhan Hati (1978), Iwan Simatupang Ziarah (1968), Kering (1972), Merahnya Merah
(1968), Keong (1975), M.A Salmoen
dengan Masa Bergolak (1968), dan
Parakitri Tahi Simbolon dengan Ibu (1969),
Kuntowijoyo Khotbah di Atas Bukit
(1976), M. Balfas Lingkaran-lingkaran
Retak (1978), Mahbub Djunaidi Dari
Hari ke Hari (1975), Wildan Yatim Pergolakan
(1974), Harijadi S. Hartowardojo Perjanjian
dengan Maut (1976), dan Ismail Marahimin dengan Dan Perang Pun Usai (1979).
Beberapa sastrawan mewakili angkatan 1980-an,
antara lain, Remy Sylado, Yudhistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma,
Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor
Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor
Ganie.
Nh. (Nurhayati) Dini masih jadi sastrawati
Indonesia yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karya, antara lain,
Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La
Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang
menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah pengaruh budaya dan karakter Barat,
di mana tokoh utama biasanya memunyai konflik dengan pemikiran Timur.
Novelis Angkatan 1980-90-an yang menonjol adalah Y.B.
Mangunwijaya dengan Burung-burung Manyar (1981), Budi Darma Olenka (1983) dan Rafilus
(1988), Sindhunata dengan Anak Bajang
Menggiring Angin (1984), Arswendo Atmowiloto Canting (1986), Gus tf Sakai Segi
Empat Patah Sisi (1990), Segi Tiga
Lepas Kaki (1991), Ben (1992) dan
Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta
(1999), Remy Sylado Ca Bau Kan (1999)
dan Kerudung Merah Kirmizi (2002).
Korrie Layun Rampan pada 2002 melempar wacana
"Sastrawan Angkatan 2000." Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000
yang disusun Korrie diterbitkan
Gramedia, Jakarta. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan
kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang
menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno
Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan
Dorothea Rosa Herliany. Penulis Angkatan 2000 adalah Ayu Utami dengan Saman (1998), Larung (2001), Seno Gumira Ajidarma dengan Atas Nama Malam, Sepotong
Senja untuk Pacarku, Biola Tak
Berdawai, dan Dewi Lestari dengan Supernova
1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001), Supernova 2.1: Akar (2002) Supernova
2.2: Petir (2004) dan Raudal Tanjung Banua dengan Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah
bagi yang Hidup (2004), Parang Tak
Berulu (2005), Gugusan Mata Ibu
(2005). Dan dua tahun belakang terbit novel-novel Maryam (2012) oleh Okky Madasari, Amba (2012) oleh Laksmi Pamuntjak, Tempurung (2012) oleh Oka Rusmini, Pulang (2012) oleh Leila S. Chudori, Persiden (2013) oleh Wisran Hadi, Karnoe (2013) oleh Jombang Santani
Khairen, dan Semusim, dan Semusim Lagi
(2013) oleh Andina Dwifatma. Itulah
sastrawan-sastrawan eksploratif dan novel-novel bermutu
yang ada di alam Melayu. Kreativitas
menulis karya sastra, dengan dan melalui eksplorasi budaya dan karakter Melayu, sesungguhnya
menghasilkan kebaruan dan mutu dalam pelbagai aspek.
Rujukan: dari Berbagai
Sumber.
***
[1] Disampaikan pada Temu Karya
Sastra Islam Melayu , kerja sama Fakultas Adab dan Humaniora IAIN
Imam Bonjol Padang dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Padang,
8-10 November 2013, di
Padang.
DARMAN MOENIR lahir di
Sawah Tangah, Batu Sangka, Sumatera Barat,
pada 27 Juli 1952. Setelah menamatkan Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia (SMSRI) Negeri, melanjutkan ke
Akademi Bahasa Asing (ABA), menamatkan Jurusan Bahasa Inggris, 1974. Pernah
kuliah lima semester di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra,
Universitas Bung Hatta tetapi menyelesaikan Program D4, Jurusan Bahasa Inggris,
Sekolah Tinggi Bahasa Asing Prayoga, 1989. Semua di Kota Padang. Mulai menulis
di usia 18, memimpin Grup Studi Sastra Krikil Tajam (1973), ikut
mengasuh Grup Bumi bersama Wisran Hadi, dll. (1976). Karya-karyanya,
antara lain, dimuat Majalah Horison, Kalam, Panji Masyarakat, Pertiwi,
Kartini, Tabloid Nova,
Harian Indonesia Raya (alm.), Kompas, Pelita, Sinar Harapan
(alm.), Suara Pembaruan, Suara Karya, Media Indonesia, Sinar Pagi,
Republika, Jurnal Nasional, Analisa (Medan) Berita Minggu
(Singapura) dan surat-suratkabar terbitan Padang.
Menulis puisi, cerpen, novel, esei, mengerjakan terjemahan. Kumpulan
puisinya Kenapa Hari Panas Sekali? (diterbitkan Ruang Pendidik INS Kayu
Tanam, sekolah mendiang Engku M. Sjafei). Beberapa sajaknya masuk dalam Tonggak
4, Antologi Puisi Indonesia Modern (ed. Linus Suryadi A.G.). Cerpennya
dimuat dalam antologi Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (Kuala Lumpur,
1991, ed. Suratman Markasan). Satu eseinya dimuat dalam Asian Writers on
Literature and Justice (Manila, 1982).
Menulis Bako, memenangkan Hadiah Utama Sayembara Mengarang Roman DKJ
1980, diterbitkan Balai Pustaka (1983). BP juga menerbitkan novel Dendang
(1988). Aku Keluargaku Tetanggaku meraih Hadiah II Sayembara Novel Kartini
1986, diterbitkan BP (1993). Gumam, novel pertamanya yang mendapat
rekomendasi DKJ 1976, diterbitkan CV 28 28, Padang (1984). Novel yang lain
adalah Riak (1977, belum terbit) dan Krit
& Sena (2003, belum terbit). Novel Andika Cahaya diterbitkan Akar Indonesia (2012). Dan novel Paco-paco (2012, belum terbit). Dua novel kepahlawanan untuk bacaan anak-anak, Surat
dari Seorang Prajurit 45 kepada Cucunya dan Di Lembah Situjuah Batua diterbitkan Angkasa Raya
(1992). Dengan pengantar H.B. Jassin, kumpulan cerpennya, Jelaga Pusaka
Tinggi, diterbitkan Angkasa Bandung (1997). Dan dengan individual grant
dari The Ford Foundation, 1987, mengadakan penelitian tentang tambo Minangkabau
untuk ditransliterasi dari aksara Arab ke Latin dan diterjemahkan dari bahasa
Minangkabau ke Indonesia. Menerjemahkan dari bahasa Inggris ke Indonesia,
antara lain, novel Negeri Hujan, nominasi Hadiah Nobel Sastra, karya
Pira Sudham (Thailand), diterbitkan Yayasan Obor Indonesia.
Pada 1974 menghadiri Pertemuan Sastrawan Indonesia II di Jakarta, 1980 ikut-serta pada Hari
Sastra di Ipoh, Malaysia, dan 1981 terpilih menghadiri Konferensi
Pengarang Asia diselenggarakan Pen Club di Manila, Filipina. Pada
1982 ikut Pertemuan Dunia Melayu di Melaka, 1983 memrakarsai Pertemuan
Penyair ASEAN di Denpasar, Bali, ke Pesta Puisi Nusantara di
Singapura, Simposium antarbangsa tentang Kesusastraan di Kuala Lumpur,
dan Puisi Indonesia ’83 di Jakarta. Menyampaikan makalah pada Forum Dialog
Utara II di Medan 1984, jadi peserta Second Conference on Malay World
di Kolombo, Sri Lanka, 1985. Membacakan sajak-sajak di Taman Ismail Marzuki,
Jakarta, 1986. Mengikuti International Writing Program di Iowa City dan International
Visitor Program keliling Amerika Serikat, pada Musim Gugur, 1988.
Menghadiri Pertemuan Sastra Nusantara VII di Singapura dan jadi peserta Kongres
Kesusastraan1991 di Jakarta. Pada 1992 menghadiri acara penyerahan Hadiah
Sastra Chairil Anwar untuk Mochtar Lubis di Jakarta, Musyawarah Dewan
Kesenian se Indonesia III di Makassar, dan ikut membaca dalam acara Baca
Puisi Solidaritas Bosnia Kita di Jakarta, menyampaikan makalah pada Bengkel-kerja
Sastra ASEAN ’92 di Pulau Pinang, Malaysia dan menerima Hadiah Sastra
1992 dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada 1993 membaca puisi Solidaritas
Bosnia di Surabaya. Menjadi peserta Kongres Kesenian 1995 di
Jakarta. Tahun 1996 jadi peserta Seminar Informal tentang Eksperimen dan Kebebasan,
diselenggarakan oleh Association of American Publishers bekerja-sama
dengan Lontar Foundation di Ciloto, Jawa Barat. Dan 2004 menjadi peserta
Cakrawala Sastra Indonesia,
diselenggarakan DKJ dan Pertemuan
Sastrawan Nusantara 13 di Surabaya. Menjadi peserta
Dialog Borneo-Kalimantan XI 2011 di Samarinda, Kalimantan Timur, dan
mengikuti Pertemuan Pengarang Indonesia
2012 di Makassar dan Malam Anugerah Sayembara Novel DKJ 2012
di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ikut menggagas dan memaklumatkan Hari Sastra Indonesia di Bukiktinggi
pada 24 Maret 2013. HSI ditetapkan
setiap 3 Juli. Ikut memvalidasi terjemahan Kitab Suci Alquran ke dalam bahasa
Minangkabau (2013, 2014). Dari remaja sampai tua selalu terlibat secara aktif
dalam kegiatan kesusastraan, kesenian dan kebudayaan, secara khusus di Kota
Padang dan Provinsi Sumatera Barat, secara umum di Indonesia dan dunia
internasional.
Punya tiga
putra, Haiyyu
D. Moenir, S.I.P., M.Si., Abla D. Moenir (alm.), Hoppla D. Moenir dan tiga
putri,
Tahtiha D. Moenir, S.S., Tastafti D. Moenir, S.Pi. dan Asthwa D. Moenir dari istrinya Dra. Hj.
Darhana Bakar.
Alamat
Darman Moenir
Jalan Pasaman II/170
Kompleks Perumnas Siteba
Kelurahan Surau Gadang
Padang 25146
Telepon Rumah 0751 7053792
Telepon Genggam 08153512120 dan
Surat Elektronik demoe_tastafti@yahoo.com
Twitter
@deMoenir
[1] Disampaikan pada Temu Karya
Sastra Islam Melayu , kerja sama Fakultas Adab dan Humaniora IAIN
Imam Bonjol Padang dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Padang,
8-10 November 2013, di
Padang.
0 komentar:
Posting Komentar