Pages

Kamis, 07 November 2013

Identitas dan Karakter Sastra Melayu


[1]

Oleh Darman Moenir

KESUSASTRAAN Melayu boleh berarti kesusastraan di semua wilayah Melayu: Indonesia, sebagian Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, dan Filipina.  Sekarang, Melayu mengalami pergeseran nilai. Itu antara lain disebabkan kemajuan teknologi informasi apa saja bisa masuk ke, dan tersimak dalam kehidupan. Namun, dari dulu, pada dasarnya kesusastraan Melayu terbentuk dan dipengaruhi Cina, India dan Arab dan Barat. Kesusastraan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Budha. Kerajaan-kerajaan bernafaskan Hindu dan Budha mendominasi Nusantara abad ke-5 Masehi, ditandai dengan kehadiran kerajaan tertua sampai penghujung abad ke-15.
Kesusastraan Cina masuk melalui interaksi perdagangan, bersama perantau dari selatan Tiongkok. Mereka menetap, menikahi penduduk lokal, menghasilkan perpaduan kesusastraan yang unik. Kesusastraan seperti ini kemudian jadi akar kesusastraan lokal modern Melayu. Kesusastraan Arab masuk melalui penyebaran Islam. Kedatangan penjelajah dari Eropa sejak abad ke-16, dan penjajahan yang berlangsung selanjutnya, menghasilkan pelbagai bentuk kesusastraan Barat. Teknologi, sistem organisasi dan politik, sistem sosial, berbagai elemen budaya seperti perekonomian, dan sebagainya, banyak diadopsi dari Barat, dan berkarakter Barat.


Eksplorasi Sastra
            BAGAIMANA “kedudukan” dan karakter karya sastra dalam eksplorasi sastra Melayu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksplorasi berarti (1) penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak tentang keadaan terutama sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu, penyelidikan, penjajakan, (2) kegiatan untuk memperoleh pengalaman baru dari situasi yang baru, (3) penyelidikan dan penjajakan daerah yang diperkirakan mengandung mineral berharga dengan jalan survei geologi, survei geofisika, atau pengeboran untuk menemukan deposit dan mengetahui luas wilayahnya.
Dengan pemahaman itu bersuakah karya sastra sebagai eksplorasi budaya bangsa dan karakter Melayu? Dan bagaimana “bentuk” konkret pertemuan penting karya sastra dan eksplorasi budaya itu? Tidakkah corak kesusastraan Malaysia lebih dominan Inggris sebagai akibat lama dijajah bangsa itu? Begitu pula dengan Indonesia yang lama dijajah Belanda? Pengaruh Islam juga membedakan keberadaan sastra modern yang bernafaskan Islam: dengan gaya dan pengucapan yang berbeda dibanding Barat. Karya sastra Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi boleh menjadi contoh.
Oleh karena itu, perlu dijelaskan, menulis karya sastra, bagi seorang sastrawan, pada hakikatnya adalah “pekerjaan” (di antara tanda petik) kreatif. Sering diungkap, setelah Allah SWT menciptakan laut maka manusia membuat garam, setelah Allah SWT menciptakan kapas maka manusia membuat kain, dan setelah Allah SWT menciptakan eter maka manusia mengadakan komunikasi maya. Dan setelah Allah SWT menciptakan alat bicara dan kata dan bahasa (juga bahasa Melayu) maka manusia melakukan bahasa tulis dan penyair menciptakan puisi, novelis menciptakan novel.
Sekali garam terbentuk, sekali kain tertenun, dan sekali internet terujud, maka kreativitas itu berubah menjadi produktivitas. Pembuat garam, penenun dan pembuat piranti dunia maya berikut hanya mengulang atau melanjutkan apa yang dikerjakan pendahulu. Tidak lebih, tidak kurang. Begitu pula, Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), menjadi penemuan Abdoel Moeis. Siapa pun yang kemudian menulis seperti yang dilakukan Abdoel Moeis takkan menghasilkan novel yang bernilai kreatif. Begitu pula kumpulan cerita pendek Salah Pimpin, dan Cerita Sepanjang Jalan IX oleh Keris Mas. Agaknya hal demikian terjadi di Singapura, Thailand, Brunei, dan Filipina yang Melayu.
Di Indonesia, dalam rentang awal abad lampau bisa disimak novel-novel kerja kreatif sastrawan angkatan Balai Pustaka yang mengeksplorasi budaya, dan karakter Melayu. Mereka antara lain adalah Marah Roesli, Muhammad Yamin, Nur Sutan Iskandar, Tulis Sutan Sati, Djamaluddin Adinegoro, Abbas Soetan Pamoentjak, Abdoel Moeis, dan Aman Datoek Madjoindo (Mahayana M.S., Sofyan O., Dian A., 2000). Dengan eksplorasi itu bahkan novel-novel mereka menandai kelahiran novel modern Indonesia. Beberapa karya mereka sangat terkenal, hingga sekarang: Siti Nurbaya Marah Roesli, Sengsara Membawa Nikmat Tulis Sutan Sati. Berikut beberapa novel modern itu: Salah Pilih Nur Sutan Iskandar, Pertemuan Abbas Soetan Pamoentjak, Cinta yang Membawa Maut Nur Sutan Iskandar, La Hami Marah Roesli, Tak Disangka Tulis Sutan Sati, dan Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan Nur Sutan Iskandar.
Hampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan novel-novel terutama Salah Asuhan dan Siti Nurbaya menjadi karya penting kesusastraan Indonesia. Secara tematik, seperti yang disinggung H.B. Jassin, Zuber Usman, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, maupun Teeuw, novel ini tidak hanya menampilkan latar sosial secara lebih jelas, tetapi juga mengandung kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Novel ini pula yang pertama kali menampilkan masalah perkawinan dalam hubungannya dengan persoalan adat, yang kemudian banyak diikuti pengarang Indonesia. Tidakkah dengan demikian sesungguhnya eksplorasi budaya bangsa jadi “pekerjaan” sastrawan?
Itulah yang tersua dalam Intan oleh Abdullah Hussain, sastrawan besar Malaysia, yang menyindir sifat buruk manusia dalam bentuk humor sarkastik. Pengaruh tradisi sastra Islam juga membedakan keberadaan sastra modern yang bernafaskan Islam: dengan gaya dan pengucapan berbeda. Raja Ali Haji dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi menjadi contoh konkret.
Itulah yang diolah Arena Wati yang bernenek-moyang di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Arena Wati menautkan nasionalis Melayu: Jawa, Bugis, Banjar, Minangkabau, Aceh, Jakun dan Sakai, Talang Mamak, dan Malbari, adalah Melayu!

Kebaruan dan Mutu
Nur Sutan Iskandar disebut "Raja Angkatan Balai Pustaka" sebagai akibat karya-karyanya yang bernilai demikian. Begitu pula novel-novel Hamka  yang monumental: Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Di Dalam Lembah Kehidoepan. Eksplorasi Angkatan 1945 berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani antara lain menampilkan Tiga Manguak Takdir oleh Asrul Sani, Rivai Apin dan Chairil Anwar. Pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma oleh Idroes dan Atheis oleh Achdiat K. Mihardja dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia. Begitu pula Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa Pramoedya Ananta Toer.
Sastrawan angkatan 1950-60-an yang eksploratif antara lain adalah Mochtar Lubis dengan Tak Ada Esok, Jalan Tak Ada Ujung, Tanah Gersang, Senja di Jakarta, Harimau-harimau dan Ali Akbar Navis dengan Hujan Panas dan Kemarau (1967). Navis sendiri lebih terkenal dengan Robohnya Surau Kami. Inilah cerpen islamik terbaik, sampai saat ini, pada hemat saya, yang ada di bumi Melayu. Setelah Navis, ada Wisran Hadi, Chairul Harun, Rusli Marzuki Saria, Leon Agustra, Abrar Yusra, Raudha Thaib alias Upita Agustine, Harris Effendi Thahar, Gus tf Sakai, Khairul Jasmi, Zaili Asril, Dewi Sartika, Raudal Tanjung Banua, Yusrizal K.W., Hendri Teja, Sulfiza Ariska. Dan, selama lima tahun terakhir, dari Provinsi Sumatera Barat terbit paling tidak 50 (baca: lima puluh judul) karya sastra baru, bukan ulang-cetak.
Tidak mungkin diabaikan Keluarga Permana, Upacara, Olenka, Khotbah di Atas Bukit, Saman. Dan Angkatan 1966-70-an ditandai dengan penerbitan Horison. Semangat avant-garde dan ekploratif terhadap budaya dan karakter bangsa juga menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini muncul dalam beragam aliran: surealistik, arus kesadaran, asketik, absurd. Pustaka Jaya membantu menerbitkan karya sastra pada masa ini. Sastrawan yang termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin. Ada Sutardji Calzoum Bachri, Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wing Kardjo, Taufiq Ismail, dan yang lain.
Umar Kayam melahirkan Seribu Kunang-kunang di Manhattan, Sri Sumarah dan Bawuk, Para Priyayi, Jalan Menikung, Danarto Godlob, Adam Makrifat, Berhala, Nasjah Djamin Hilanglah si Anak Hilang (1963), Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968), dan Putu Wijaya menulis novel-novel Bila Malam Bertambah Malam (1971), Telegram (1973), Stasiun (1977), Pabrik, Gres, Bom dan Djamil Suherman dengan Perjalanan ke Akhirat (1962), Manifestasi (1963), Titis Basino dengan Dia, Hotel, Surat Keputusan (1963), Bukan Rumahku (1976), Pelabuhan Hati (1978), Iwan Simatupang Ziarah (1968), Kering (1972), Merahnya Merah (1968), Keong (1975), M.A Salmoen dengan Masa Bergolak (1968), dan Parakitri Tahi Simbolon dengan Ibu (1969), Kuntowijoyo Khotbah di Atas Bukit (1976), M. Balfas Lingkaran-lingkaran Retak (1978), Mahbub Djunaidi Dari Hari ke Hari (1975), Wildan Yatim Pergolakan (1974), Harijadi S. Hartowardojo Perjanjian dengan Maut (1976), dan Ismail Marahimin dengan Dan Perang Pun Usai (1979).
Beberapa sastrawan mewakili angkatan 1980-an, antara lain, Remy Sylado, Yudhistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. (Nurhayati) Dini masih jadi sastrawati Indonesia yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karya, antara lain, Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah pengaruh budaya dan karakter Barat, di mana tokoh utama biasanya memunyai konflik dengan pemikiran Timur.
Novelis Angkatan 1980-90-an yang menonjol adalah Y.B. Mangunwijaya dengan  Burung-burung Manyar (1981), Budi Darma Olenka (1983) dan Rafilus (1988), Sindhunata dengan Anak Bajang Menggiring Angin (1984), Arswendo Atmowiloto Canting (1986), Gus tf Sakai Segi Empat Patah Sisi (1990), Segi Tiga Lepas Kaki (1991), Ben (1992) dan Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999), Remy Sylado Ca Bau Kan (1999) dan Kerudung Merah Kirmizi (2002).
Korrie Layun Rampan pada 2002 melempar wacana "Sastrawan Angkatan 2000." Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusun Korrie diterbitkan Gramedia, Jakarta. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. Penulis Angkatan 2000 adalah Ayu Utami dengan Saman (1998), Larung (2001), Seno Gumira Ajidarma dengan Atas Nama Malam, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola Tak Berdawai, dan Dewi Lestari dengan Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001), Supernova 2.1: Akar (2002) Supernova 2.2: Petir (2004) dan Raudal Tanjung Banua dengan Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu (2005), Gugusan Mata Ibu (2005). Dan dua tahun belakang terbit novel-novel Maryam (2012) oleh Okky Madasari, Amba (2012) oleh Laksmi Pamuntjak, Tempurung (2012) oleh Oka Rusmini, Pulang (2012) oleh Leila S. Chudori, Persiden (2013) oleh Wisran Hadi, Karnoe (2013) oleh Jombang Santani Khairen, dan Semusim, dan Semusim Lagi (2013) oleh Andina Dwifatma. Itulah sastrawan-sastrawan eksploratif dan novel-novel bermutu yang ada di alam Melayu. Kreativitas menulis karya sastra, dengan dan melalui eksplorasi budaya dan karakter Melayu, sesungguhnya menghasilkan kebaruan dan mutu dalam pelbagai aspek.

Rujukan: dari Berbagai Sumber.
***

[1] Disampaikan pada Temu Karya Sastra Islam Melayu , kerja sama Fakultas Adab dan Humaniora IAIN
  Imam Bonjol Padang dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Padang, 8-10 November 2013, di
  Padang.
 


DARMAN MOENIR lahir di Sawah Tangah, Batu Sangka, Sumatera Barat, pada 27 Juli 1952. Setelah menamatkan Sekolah Menengah Seni Rupa  Indonesia (SMSRI) Negeri, melanjutkan ke Akademi Bahasa Asing (ABA), menamatkan Jurusan Bahasa Inggris, 1974. Pernah kuliah lima semester di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Bung Hatta tetapi menyelesaikan Program D4, Jurusan Bahasa Inggris, Sekolah Tinggi Bahasa Asing Prayoga, 1989. Semua di Kota Padang. Mulai menulis di usia 18, memimpin Grup Studi Sastra Krikil Tajam (1973), ikut mengasuh Grup Bumi bersama Wisran Hadi, dll. (1976). Karya-karyanya, antara lain, dimuat Majalah Horison, Kalam, Panji Masyarakat, Pertiwi, Kartini, Tabloid Nova, Harian Indonesia Raya (alm.), Kompas, Pelita, Sinar Harapan (alm.), Suara Pembaruan, Suara Karya, Media Indonesia, Sinar Pagi, Republika, Jurnal Nasional, Analisa (Medan) Berita Minggu (Singapura) dan surat-suratkabar terbitan Padang.
Menulis puisi, cerpen, novel, esei, mengerjakan terjemahan. Kumpulan puisinya Kenapa Hari Panas Sekali? (diterbitkan Ruang Pendidik INS Kayu Tanam, sekolah mendiang Engku M. Sjafei). Beberapa sajaknya masuk dalam Tonggak 4, Antologi Puisi Indonesia Modern (ed. Linus Suryadi A.G.). Cerpennya dimuat dalam antologi Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (Kuala Lumpur, 1991, ed. Suratman Markasan). Satu eseinya dimuat dalam Asian Writers on Literature and Justice (Manila, 1982).
Menulis Bako, memenangkan Hadiah Utama Sayembara Mengarang Roman DKJ 1980, diterbitkan Balai Pustaka (1983). BP juga menerbitkan novel Dendang (1988). Aku Keluargaku Tetanggaku meraih Hadiah II Sayembara Novel Kartini 1986, diterbitkan BP (1993). Gumam, novel pertamanya yang mendapat rekomendasi DKJ 1976, diterbitkan CV 28 28, Padang (1984). Novel yang lain adalah Riak (1977, belum terbit) dan Krit & Sena (2003, belum terbit). Novel Andika Cahaya diterbitkan Akar Indonesia (2012). Dan novel Paco-paco (2012, belum terbit). Dua novel kepahlawanan untuk bacaan anak-anak, Surat dari Seorang Prajurit 45 kepada Cucunya dan Di Lembah Situjuah Batua diterbitkan Angkasa Raya (1992). Dengan pengantar H.B. Jassin, kumpulan cerpennya, Jelaga Pusaka Tinggi, diterbitkan Angkasa Bandung (1997). Dan dengan individual grant dari The Ford Foundation, 1987, mengadakan penelitian tentang tambo Minangkabau untuk ditransliterasi dari aksara Arab ke Latin dan diterjemahkan dari bahasa Minangkabau ke Indonesia. Menerjemahkan dari bahasa Inggris ke Indonesia, antara lain, novel Negeri Hujan, nominasi Hadiah Nobel Sastra, karya Pira Sudham (Thailand), diterbitkan Yayasan Obor Indonesia.
Pada 1974 menghadiri Pertemuan Sastrawan Indonesia II di Jakarta, 1980 ikut-serta pada Hari Sastra di Ipoh, Malaysia, dan 1981 terpilih menghadiri Konferensi Pengarang Asia diselenggarakan Pen Club di Manila, Filipina. Pada 1982 ikut Pertemuan Dunia Melayu di Melaka, 1983 memrakarsai Pertemuan Penyair ASEAN di Denpasar, Bali, ke Pesta Puisi Nusantara di Singapura, Simposium antarbangsa tentang Kesusastraan di Kuala Lumpur, dan Puisi Indonesia ’83 di Jakarta. Menyampaikan makalah pada Forum Dialog Utara II di Medan 1984, jadi peserta Second Conference on Malay World di Kolombo, Sri Lanka, 1985. Membacakan sajak-sajak di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1986. Mengikuti International Writing Program di Iowa City dan International Visitor Program keliling Amerika Serikat, pada Musim Gugur, 1988. Menghadiri Pertemuan Sastra Nusantara VII di Singapura dan jadi peserta Kongres Kesusastraan1991 di Jakarta. Pada 1992 menghadiri acara penyerahan Hadiah Sastra Chairil Anwar untuk Mochtar Lubis di Jakarta, Musyawarah Dewan Kesenian se Indonesia III di Makassar, dan ikut membaca dalam acara Baca Puisi Solidaritas Bosnia Kita di Jakarta, menyampaikan makalah pada Bengkel-kerja Sastra ASEAN ’92 di Pulau Pinang, Malaysia dan menerima Hadiah Sastra 1992 dari Pemerintah Republik Indonesia. Pada 1993 membaca puisi Solidaritas Bosnia di Surabaya. Menjadi peserta Kongres Kesenian 1995 di Jakarta. Tahun 1996 jadi peserta Seminar Informal tentang Eksperimen dan Kebebasan, diselenggarakan oleh Association of American Publishers bekerja-sama dengan Lontar Foundation di Ciloto, Jawa Barat. Dan 2004 menjadi peserta Cakrawala Sastra Indonesia, diselenggarakan DKJ dan Pertemuan Sastrawan Nusantara 13 di Surabaya. Menjadi peserta Dialog Borneo-Kalimantan XI 2011 di Samarinda, Kalimantan Timur, dan mengikuti Pertemuan Pengarang Indonesia 2012 di Makassar dan Malam Anugerah Sayembara Novel DKJ 2012 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ikut menggagas dan memaklumatkan Hari Sastra Indonesia di Bukiktinggi pada 24 Maret 2013. HSI ditetapkan setiap 3 Juli. Ikut memvalidasi terjemahan Kitab Suci Alquran ke dalam bahasa Minangkabau (2013, 2014). Dari remaja sampai tua selalu terlibat secara aktif dalam kegiatan kesusastraan, kesenian dan kebudayaan, secara khusus di Kota Padang dan Provinsi Sumatera Barat, secara umum di Indonesia dan dunia internasional.
Punya tiga putra, Haiyyu D. Moenir, S.I.P., M.Si., Abla D. Moenir (alm.), Hoppla D. Moenir dan tiga putri, Tahtiha D. Moenir, S.S., Tastafti D. Moenir, S.Pi. dan Asthwa D. Moenir dari istrinya Dra. Hj. Darhana Bakar.


Alamat
Darman Moenir
Jalan Pasaman II/170
Kompleks Perumnas Siteba
Kelurahan Surau Gadang
Padang 25146
Telepon Rumah 0751 7053792
Telepon Genggam 08153512120 dan
Surat Elektronik demoe_tastafti@yahoo.com
Twitter @deMoenir





[1] Disampaikan pada Temu Karya Sastra Islam Melayu , kerja sama Fakultas Adab dan Humaniora IAIN
  Imam Bonjol Padang dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Padang, 8-10 November 2013, di
  Padang.

0 komentar:

Posting Komentar